BAHAYA TONTONAN KEKERASAN PADA ANAK
Ada dua umpan yang
dilempar oleh produser agar film produksinya laku ditonton. Seksualitas dan
kekerasan. Orang tua cenderung mencekal yang pertama, tapi jarang atau tidak
sama sekali untuk yang kedua. Padahal "bahayanya" tak kalah
seriusnya.
|
Ny. Lita
Marfiandi terkejut melihat anaknya yang berumur delapan tahun melemparkan gelas
dan piring. Apalagi tidak ada masalah dalam diri anaknya. Bahkan hal itu
dilakukannya sambil tertawa senang. Ketika ditanya, anaknya dengan enteng
menjawab, "Kayak Joshua di televisi." Yang dimaksud adalah ulah
Joshua dalam sinetron Anak Ajaib.
Kasus anak
Ny. Lita itu memunculkan kembali silang pendapat, benarkah tayangan televisi
berpengaruh terhadap perilaku anak? Dalam lingkup yang lebih kecil, apakah
tayangan kekerasan di televisi (juga game kekerasan) bisa memicu
kebrutalan anak di kemudian hari? Masih ingat dengan kasus Eric Harris (18) dan
Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado,
Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999? Dari
keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game
yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck
Rampage.
Sungguh
sulit menjawab pertanyaan itu. Melihat jawaban anak Ny. Lita, jelas tayangan di
televisi mempengaruhi perilakunya. "Tapi, itu 'kan hanya meniru?"
kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI sambil
menambahkan, fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering
disebut imitator ulung. Lain persoalannya jika lemparannya ditujukan ke orang.
Ihwal kasus
Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan
agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih
hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV.
Pendapat
Fawzia mendukung pernyataan itu, "Main game itu intens. Di sana ada
target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan)
bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat."
Apalagi
analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap
rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk
menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.
Apa yang menarik anak?
Yang menjadi
masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak
bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam
memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula
dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang
dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin
memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu
besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan.
Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai
cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program
itu.
Seorang
psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu
menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka
tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang
terutama bikin "kecanduan" ialah unsur thrill, suasana tegang
saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung
datar dan membosankan.
Kekerasan
yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial,
dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya
berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam
menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close
up korban.
Jadi, orang
tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman.
Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah,
gebuk-gebukan perlu juga disensor.
Jadi agresor dan tak pedulian
Di Indonesia
belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku
anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi
berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur,
peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut
penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah
dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209
orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa
jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat
mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak
mempengaruhi.
Hasil
penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai
itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang
berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan
Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada
dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%.
Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang
sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian
Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit
putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru
menurun (Kompas, 20-3-1995).
Centerwall
kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa
pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si
pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan
yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara
anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan
pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara
berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga
Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama
sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku
agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian
simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci
menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap
perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari
anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan
semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak
menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak
nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan
dalam mengatasi setiap persoalan.
Nonton untuk pelarian
Tapi,
benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar
kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak
lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa
agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang
mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
Menurut
psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan
turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu
agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu
melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Bayangkan,
bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima
dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa,
memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai
berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25
- 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai
subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat
tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak
begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka,
televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk
mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel
School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur
8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah
menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan,
nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV
untuk olah intelektual.
Padahal,
penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan
level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan
rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
Rupanya, ada
hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi.
"Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi
dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang
tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang
anak lain," ujar Singer.
Yang
menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan
pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan
teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah
orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di
luar rumah atau nonton TV.
Anak yang
tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak
yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau
video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih
memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.
Singer juga
melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan
tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki
tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
Apalagi
menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang
menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya,
tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak
sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
Toh tidak
semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung
pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak
ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada
syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga
yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli
perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu
terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga
harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur
pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya
menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan
Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur
sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."
Majalah Time
(12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti
Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint
Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang
menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi
jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600
orang dan letaknya yang terpencil itu?
Orang tua contoh model anak
Dari
berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa
diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka
sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan
batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan
rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan
rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan
tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV
hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting,
anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan
mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati
makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan
melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting
kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan,
dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan
kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya
bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai
lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan
membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah
jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut
masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu
acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di
dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan -
yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang
akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan.
Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau
ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".
Masalah
bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan
untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan
khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
Dua jam sudah cukup
Kapan dan
berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah
keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis
makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang
sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah
mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker -
produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam
sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum
bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa
sedikit lebih banyak.
Memberikan
batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan
pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai
waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Agar sasaran
tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur
pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan
pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut
untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar
Fawzia.
Kekerasan
memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari
siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri
hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola
TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya
lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh
tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan
keluarga. (Yds. Agus Surono/Shinta Teviningrum)
0 komentar: