LENTERA HATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Tampilkan postingan dengan label TUMBUH KEMBANG ANAK. Tampilkan semua postingan

Mengasuh Anak dengan Responsif

Ainsworth dan koleganya memandang sensitivitas dalam mengasuh anak sebagai bagian dari responsivitas. Sensitivitas adalah kapasitas pengasuh untuk sadar terhadap tindakan anak sebagai sinyal untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginannya. Ainsworth menjelaskan sensitivitas sebagai kemampuan memandang anak sebagai individu yang utuh, dan mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang anak. Hal  ini mengarahkan kepada kemampuan dasar untuk mengenali dan merespon keadaan anak, dan kemudian kepada kapasitas untuk mampu “membaca” tingkah laku anak.  Ainsworth dan koleganya (dalam the importance of caregiver-child interaction for the survival and healthy development of young children, a review, WHO, 2004, http://www.who.int/child-adolescent-health, diakses pada 3/02/2010) menjelaskan empat komponen dalam kemampuan pengasuh menerima, menginterpretasi secara akurat dan merespon tingkah laku anak:
1.      Kesadaran akan sinyal dari anak, pengasuh harus dapat menangkap sinyal dari anak, walaupun ia hanya diam
2.      Interpretasi yang akurat terhadap sinyal dari anak, pengasuh harus empati, tidak meninggalkan anak, sehingga secara emosi pengasuh hadir untuk terlibat dengan anak
3.      Respon yang sesuai dengan komunikasi anak, misalnya menenangkan anak ketika gelisah, dan memberinya kebebasan ketika anak ingin bereksplorasi
4.      Respon yang segera terhadap anak, sehingga reaksi pengasuh diterima sebagai bagian dari komunikasi anak dan pemuasan terhadap kebutuhan anak.

Pengasuhan yang resposif dan sensitif melibatkan komponen kognisi, emosi dan evaluasi respon. Ketika interaksi pengasuh dengan anak bertujuan untuk berempati terhadap anak, maka hal ini akan mengarahkan ibu untuk mengolah informasi guna memperoleh pemahaman dari sudut pandang anak, pada reaksi emosional yang terkait dengan hasil yang akan diperoleh anak daripada hasil yang akan diperoleh ibu, dan pada pemilihan tingkah laku yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

Adapun aspek-aspek yang terkandung dalam sensititivas dan responsivitas  ibu dalam memberi respon pada kebutuhan anak, yang pertama adalah kemampuan ibu untuk menangkap sinyal, keinginan dan kebutuhan anak secara individual, didasari oleh aspek pengetahuan (kognisi) yang dimiliki ibu mengenai karakteristik perkembangan anak serta kebutuhannya dalam setiap tahap usia. Adanya pengetahuan ini membantu ibu untuk melihat suatu peristiwa dari sudut pandang kebutuhan dan keinginan anak. Pengetahuan ibu tentang perkembangan anak, kepercayaan ibu tentang anak dan ekspektasi mereka terhadap perkembangan anak, akan mempengaruhi tingkah laku ibu terhadap anak. Jika ibu menyadari bahwa interaksi mereka dengan anak sangat penting bagi perkembangan anak, atau mereka kurang menyadari pentingnya memberi dukungan terhadap kemampuan yang ada pada anak, mereka kurang mampu memberikan stimulasi yang sesuai dengan pengasuhan yang responsive (Reis, 1988).
Yang kedua, untuk dapat menginterpretasikan sinyal dari anak secara akurat, didasari oleh aspek afeksi. Aspek afeksi ini terkait dengan kehadiran ibu secara emosional dalam berinteraksi dengan anak. Kehadiran secara emosional (emotional availability) yang dimaksud adalah seberapa besar ibu focus dan memberikan perhatian pada anak, menghayati emosi yang dirasakan anak dan meresponnya (Tronick, Gianino, 1986b). Ibu akan dapat merasakan emosi yang muncul pada anak, baik itu positif maupun negative. Dix (1991:1992) mengemukakan bahwa pengasuhan yang sensitive dan responsive sangat dipengaruhi oleh motivasi dan suasana hati pengasuh. Agar ibu dapat sensitive dan responsive, upaya ibu menghayati emosi yang dirasakan anak harus dilandasakan pada tujuan untuk mensejahterakan anak. Ibu tidak boleh diganggu oleh pemikiran dari dalam diri atau luar diri yang menyebabkan stress dan  kecemasan (Walter & Dumas, 1989).
Yang ketiga pemberian respon segera dan akurat terhadap sinyal dan kebutuhan anak, berkaitan dengan aspek tingkah  laku. Respon ibu terhadap anak berwujud tingkah laku seperti bicara, menyentuh, tersenyum, menggendong, dan sebagainya. Respon yang dipilih ibu sangat tergantung pada tujuan ibu dalam berinteraksi dengan anak, apakah tujuan tersebut untuk berempati terhadap anak agar anak lebih sejahtera, atau semata-mata untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan ibu.

Ibu yang sensitif dan responsif terhadap anak memiliki tingkah laku sebagai berikut (nourish nurture development dalam www.cccf-fcsge.ca/project/responsive care-e.pdf, diakses pada 3/02/2010):
1.      Mengamati tanda dan sinyal individual anak dan belajar mengantisipasi waktu-waktu untuk memberi makan, memberi sentuhan, beraktivitas dan memberi istirahat
2.      Mengenalkan anak pada pengalaman dan aktivitas baru ketika ia siap menerimanya
3.      Berbagi berbagai kegiatan dengan anak dan mengikuti minat serta ketertarikan anak. Memberikan kesempatan pada anak untuk memutuskan dan memimpin dapat meningkatkan keinginan dan kemampuan anak untuk mengeksplorasi dan belajar dari lingkungan, dan dalam waktu yang bersamaan ibu mengkomunikasikan, “apapun yang kamu lakukan adalah penting bagi saya”
4.      Mencari waktu yang tepat untuk mengembangkan kemampuan anak
5.      Mengekspresikan kasih sayang dan keceriaan pada anak ketika mencapai suatu keberhasilan. Anak yang menerima kasih sayang dan pujian yang tulus terhadap keberhasilannya dalam mengerjakan sesuatu akan memiliki penghargaan terhadap dirinya sendiri dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mencoba hal-hal baru.
Learn more »

Agar Anak Tidak Manja

Inilah beberapa hal yang bisa membantu Mama untuk kembali memegang kendali agar anak tidak manja:

• Masalah: Anak ingin membeli balok-balok kayu di rak mainan--sekarang juga!

Solusi: Sah-sah saja untuk mengatakan tidak dan membiarkan anak menangis sekeras-kerasnya, kata Don MacMannis, Ph.D, salah satu penulis dari How’s Your Family Really Doing?  Tawarkan hadiah berupa sesuatu yang disukainya (bukan uang, ya, Ma).

“Mama tahu ini kalau susah untuk kamu. Namun, semakin cepat kita selesai belanja, semakin cepat pula kamu bisa main di tempat main favorit kamu.”

• Masalah: Anak sedang berjuang memakai baju, tapi Mama sudah terlambat kerja.

Solusi: “Orang tua tidak ingin melihat anaknya merasa frustrasi,” tutur Brandi Davis, parenting coach dan penulis O.K. I’m a Parent. Now What? Tapi, sebelum mama membantunya, tanyalah pada diri sendiri,

“Apakah ini sesuatu yang anak bisa lakukan sendiri, meski hasilnya belum sempurna?” Bantulah mengancingkan beberapa kancing untuknya, lalu biarkan dia melakukan 2 kancing terakhir sendiri.

Dengan anak yang lebih kecil, misalnya, letakkan 5 buku di rak. Berikan 2 buku padanya, dan biarkan ia menaruhnya sendiri.

• Masalah: Mama memintanya untuk mengambil mainan, namun dia malah melemparkannya di lantai.

Solusi: Jangan abaikan perilaku buruk anak, tapi jangan juga terlalu keras memaksanya mematuhi aturan Anda. Tawarkan pilihan antara bekerja sama atau menerima akibat dari perbuatannya. Misalnya, “Kamu bisa mulai mengambil semua mainan kamu atau kamu boleh pergi ke kursi di pojok kamar kamu.”
Learn more »

Agar Anak Hargai Pemberian Orang Lain

Anak Anda dicintai dan sering diberi mainan oleh seluruh anggota keluarga? Wah senangnya! Manfaatkan hadiah-hadiah yang berlimpah ini untuk mengajarkan rasa kasih sayang diantara anggota keluarga.

“Buku tentang bidadari ini bagus sekali. Pasti Tante Dona membelikannya untuk kamu, karena sayang sekali sama kamu.” Atau, “Oma sayang ya sama kamu, sampai mau repot-repot menjahitkan piyama pink ini.” Saya yakin, anak Anda yang cantik dan menggemaskan itu sejak dini telah dibanjiri rasa cinta, terutama dari mama dan papanya; karena ia memiliki perilaku yang juga penuh cinta. Keep up the good work, Mom! Terus tanamkan pada diri anak bahwa saling memberi dan menerima kasih sayang akan membahagiakan hidupnya.

Tetapi, semua yang berlebihan memang dampaknya bisa buruk, termasuk hadiah yang berlimpah. Semua kembali terpulang pada Anda. Pada kenyataannya, kemampuan mengingat anak-anak balita (bawah lima tahun) seusia anak Anda belum berkembang sempurna atau masih sangat terbatas. Jadi, ia tidak akan ingat hadiah-hadiah apa saja yang sudah diterimanya dari anggota keluarga besarnya. Apalagi, kalau pemberian hadiah itu begitu intens.

Yang perlu Anda lakukan adalah latih anak untuk berterima kasih atas hadiah-hadiah yang diterimanya. Lalu, hanya gunakan benda-benda yang memang anak perlukan. Misalnya, kalau piyama anak Anda sudah mulai pudar warnanya, barulah ia bisa memakai piyama pink hasil jahitan oma. Atau, kalau sudah tiba saatnya untuk membacakan buku yang baru, Anda bisa membacakan buku tentang bidadari dari Tante Dona. Hadiah-hadiah lainnya (bola dunia dari opa, sekotak pensil warna dari Oom Dicky, atau mainan Lego dari Tante Eka) bisa Anda simpan dulu. Keluarkan hadiah-hadiah itu, ketika diperlukan. Misalnya, ketika anak sudah bersikap baik dan perlu diberi hadiah.

Ajarkan pula pada anak untuk melihat kelebihan dari benda-benda yang dimilikinya. “Bola dunia dari opa ini bagus sekali, ya. Di malam hari, lampunya bisa dinyalakan untuk menerangi kamar kamu.” Atau, “Mainan Lego dari Tante Eka bisa dibentuk jadi kereta api, lho.” Dengan cara ini, anak akan lebih menghargai benda-benda miliknya. Juga, ajarkan pada anak untuk bertanggung jawab atas benda-benda miliknya. Misalnya, mengembalikan ke tempat penyimpanan, setelah digunakan. Pada awalnya, dampingi dulu dia ya.
Learn more »

Infeksi Pencernaan pada Anak

Biasanya infeksi pencernaan yang terjadi pada anak adalah gastroenteritis alias diare dan muntah-muntah. Hal ini terjadi karena infeksi, dan kebanyakan infeksinya adalah infeksi virus yang akan sembuh sendiri dan tidak memerlukan antibiotika. Anak baru membutuhkan antibiotika bila diarenya disertai darah.

Sebetulnya, gastroenteritis pada anak yang tidak kurang gizi, umumnya tidak berat sehingga tidak perlu rawat inap. Yang perlu rawat inap adalah yang dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) berat. Jadi, saat diare atau muntah-muntah, fokus Anda adalah mencegah terjadinya dehidrasi. Makanya, penting sekali pemberian cairan, cairan, cairan (apapun itu), serta oralit.

Bagaimana makan anak setelah mengalami gastroenteritis? 

Intinya, tawarkan makanan, tetapi jangan kaget kalau anak menolak. Saat sakit (apalagi terkena infeksi virus), nafsu makan anak menurun drastis. Kalau sudah begini, pilihlah makanan yang sifatnya ringan dan tidak ‘berlemak’ (makanan jenis ini akan semakin merangsang rasa mual).

Pilihlah makanan yang segar dan menarik. Berikan sedikit-sedikit, tetapi sering. Nah, beberapa contoh makanan yang bisa diberikan adalah nasi, roti gandum, pisang, apel kukus, kentang, kuning telur, daging cincang, sayur, labu kuning, atau ikan.

Silakan terus berkreasi. Karena saat sakit, menu makanan harus penuh inovasi untuk menarik perhatian anak. Yang dipantang diberikan adalah makanan yang tak sehat, seperti gorengan, makanan instan (sosis atau nugget), makanan bersantan, dan makanan jadi hasil olahan pabrik.

Kapan harus panik? Selama tidak terjadi komplikasi, seperti dehidrasi, Anda tidak perlu khawatir. 
Learn more »

Kenali Anak Suka Mengadu

Mengapa anak Anda suka mengadu? Banyak hal bisa menjadi jawabannya.

Kalau pada orang dewasa, suka mengadu memang bisa dianggap sebagai tindakan negatif;  karena tindakan ini umumnya didasarkan pada kepentingan atau keuntungan pribadi si pengadu. Namun, tidak demikian halnya bagi anak-anak usia SD. Banyak hal positif bisa didapat anak dari tindakannya ini. Ya, mengadu memang bisa mengembangkan banyak hal yang berhubungan dengan kemampuan moral, emosional, dan sosial anak.  

Anak-anak sejak usia batita (bawah 3 tahun) sampai usia SD mulai memahami tentang hal-hal buruk dan baik, serta sangat ingin menegakkan aturan-aturan yang berlaku. “Bu Guru, tadi Edo gangguin Tiara sampai hampir menangis,” ujar seorang anak kelas 1 SD pada gurunya. Anda mungkin kerap mendengar aduan-aduan seperti ini. Tetapi, anak mengadu tidak untuk kepentingan dirinya semata. Ia lebih bertujuan untuk menegakkan peraturan yang ada.

Sementara, dari sisi Anda, sebagai orang tua; Anda bisa memanfaatkan hal ini untuk mengajarkan atau melatih anak untuk menyelesaikan masalah dengan baik, berkomunikasi, ataupun  mengungkapkan pendapat. Jadi, Anda perlu menyikapi tindakan anak yang satu ini dengan bijak dan tidak perlu terlalu mencemaskannya.

Anda baru perlu cemas dan waspada jika mengamati bahwa anak terus-menerus mengadu karena ingin mendapat perhatian  Anda. Umumnya, ini terjadi pada anak-anak batita atau di antara kakak-beradik yang usianya tidak jauh berbeda. “Mama, aku jatuh”. Pernahkah Anda mendengar batita mengadu pada mamanya seperti ini? Atau, “Ma, Dik Firzi tuh cuma makan daging ayamnya, tapi enggak makan nasi dan sayur bayamnya,” adu si kakak. Dalam kondisi ini, dengan mengadu, si kakak merasa lebih unggul dari adiknya.

Jadi, sekali lagi, Anda tidak perlu terlalu cemas. Coba amati apa dasar dari pengaduan anak Anda. Apakah ia mengadu karena ingin mendapat perhatian dari Anda atau gurunya? Ataukah, ia mengadu dalam proses menumbuhkan rasa percaya dirinya karena merasa lebih unggul dari adiknya? Jangan anggap sepele pengaduan anak, bahkan Anda perlu peka dan memahami maksud dari tindakannya ini. Selanjutnya, berilah respon yang sesuai kebutuhannya. Hanya dengan respon seperti ini, orang tua bisa menarik manfaat dari tindakan aduan anak.
Learn more »

Tangani Anak Selalu Ingin Menang

Anda tidak perlu terlalu khawatir. Selalu ingin menang adalah perilaku yang wajar pada anak, terutama di usia balita. Perkembangan emosi anak-anak seusia ini sedang berada dalam fase egosentris.

Semua hal terpusat pada dirinya sendiri, semua miliknya, dan hanya untuk dirinya. Ia juga suka memamerkan kemampuannya dan selalu merasa dirinya paling, seperti paling baik, paling cantik/ganteng, paling cerdas, atau paling pintar bermain kartu. Hal ini menjelaskan mengapa balita cenderung memilih mengabaikan aturan permainan atau berbuat curang daripada harus mengalami kekalahan.

Yang terpenting, lagi-lagi, semua terpulang kembali pada orang tua. Bagaimana Anda bisa menanamkan pemahaman pada diri anak bahwa kalah-menang adalah hal yang biasa. Ketika anak mengalami kekalahan atau kemenangan, tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Periksa lagi diri Anda sendiri, apakah Anda mampu melihat kekalahan sebagai sesuatu yang biasa saja?

Karena, dengan mengamati reaksi Anda ketika menghadapi kekalahan atau kemenanganlah, seorang anak akan belajar bagaimana menghadapi kedua hal ini dengan bijaksana. Apakah Anda akan berteriak-teriak kegirangan, tanpa mempedulikan pihak yang kalah, ketika menang? Atau, Anda marah-marah pada lawan main Anda ketika kalah?  

Ketika bermain, biasakan anak untuk lebih menikmati kebersamaan dan senangnya bermain bersama daripada memikirkan kalah atau menang. Kalau si kecil ngambek ketika bermain bulutangkis dan kalah dari temannya, katakan, misalnya: "Tidak apa-apa sekarang kamu kalah. Artinya, kita harus berlatih lebih banyak lagi. Tetapi, papa bangga, lho, sama kamu. Smash kamu keras sekali. Kita latih terus, ya".

Terus puji usaha-usaha yang sudah dilakukannya dan tunjukkan hal-hal yang menyenangkan dari permainan itu. Katakan lagi, "Lagipula, asyik, kan, main bulutangkis. Kamu bisa lari, lompat, dan memukul."
Learn more »

Manfaat Makan bersama Keluarga

Coba hitung, dalam seminggu ini, berapa kalikah Anda sempat makan bersama anak? Tujuh kali, lima kali, dua kali, atau tidak sama sekali? 

Para peneliti di Rutgers, State University of New Jersey, Amerika Serikat, menemukan bahwa banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh anak-anak yang memiliki kebiasaan makan bersama keluarga, sebagai berikut:

1.Kebiasaan makan malam bersama keluarga bisa mencegah terjadinya obesitas pada anak.

2. Makan bersama keluarga mendorong anak untuk mengonsumsi lebih banyak buah, sayuran, serat, serta berbagai jenis makanan yang kaya kalsium dan vitamin.


3. Anak-anak dari keluarga yang memiliki kebiasaan makan malam bersama jarang mengonsumsi junk food dan soft drink.


4. Anak-anak ini cenderung memiliki pola makan yang lebih baik.


5. Anak-anak ini juga cenderung memiliki prestasi yang lebih baik di sekolah

Jadi, tunggu apa lagi? Segera atur kembali jadwal keseharian Anda dan masukkan kegiatan makan bersama sebagai prioritas utama.
Learn more »

Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual

Supaya anak terhindar dari tindak kekerasan seksual, berikut saran dari National Society for the Prevention of Cruelty to Children di Inggris yang bisa Mama terapkan:

Bantu anak untuk memahami tubuhnya, agar ia tahu bagian-bagian mana tubuhnya yang merupakan area pribadi dan tidak boleh disentuh oleh orang lain secara tidak pantas. Tetaplah bersikap positif saat menjelaskan agar anak tidak merasa malu atas tubuhnya sendiri dan tekankan bahwa tubuh anak adalah miliknya dan ia berhak menolak tindakan apapun yang menyakiti tubuhnya.
Masukkan seks sebagai bahan obrolan dengan anak. Sebenarnya berbicara soal seks dengan anak yang lebih kecil lebih mudah daripada saat ia remaja. Kalau anak mulai bertanya-tanya soal seks, jawab saja sejujurnya. Tapi pilih bahasa dan konsep yang sesuai umurnya ya, Ma.  Informasi yang benar dari orang tuanya jauh lebih baik daripada ia nanti mendapatkan informasi dari teman sebaya yang belum tentu benar.
Bangunlah rasa saling percaya antara Anda dan anak. Selalu luangkan waktu untuk mendengarkan dan menanggapi cerita mereka, jangan anggap remeh jika mereka merasa khawatir atau takut terhadap suatu hal.
Jelaskan perbedaan antara rahasia baik dan rahasia buruk. Misalnya Anda bisa bilang, “Tidak apa-apa kalau kamu merahasiakan sesuatu seperti waktu kamu dan adik diam-diam beli hadiah untuk ulang tahun mama, tapi kamu tidak boleh merahasiakan hal-hal yang membuat kamu dan adik sakit, sedih atau takut.” 
Tanamkan pada anak bahwa mereka punya hak untuk menolak tindakan apa pun yang membuat mereka takut, sakit, tidak nyaman atau menurut mereka salah. Yakinkan anak bahwa mereka tak perlu ragu mengadu pada Anda atau orang dewasa lain jika ada yang menyakiti mereka.

Learn more »

Benarkah Anak Sudah Bermain?



Anak memang sering terlihat bermain. Namun, apakah ia benar-benar bermain atau tidak? Berikut beberapa ciri bermain:

- Dilakukan berdasarkan motivasi dari dalam diri anak, dan untuk kepentingan sendiri. Jadi, tidak ada paksaan dari orang lain.

- Emosi positif yang dirasakan anak, seperti senang, antusias, dll.

- Fleksibel, yakni anak mudah beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain, serta tidak ada batasan.

- Lebih menekankan proses daripada hasil akhir. Tidak ada tekanan untuk mencapai nilai atau prestasi tertentu.

- Bebas memilih. Ia bebas menentukan acara mainnya, memilih mainan yang akan dimainkan, serta menentukan kapan beralih pada aktivitas lain.

- Ada kualitas pura-pura. Ketika bermain, anak seolah terpisah dari dunia nyata. Ia terlihat asyik sendiri dengan imajinasinya.
Learn more »

Meningkatkan Kecerdasan Anak Balita dengan Cepat dan Pasti !

Jika anda masih ingat dengan hasil penelitian terbaru yang dimuat di website www.balitacerdas.com, disitu ditulis : TIGA TAHUN PERTAMA dalam kehidupan anak merupakan masa yang paling sensitif, yang akan SANGAT MENENTUKAN perkembangan otak dan kehidupannya di masa mendatang. Mengapa begitu ? Bagian TERPENTING tubuh kita, yaitu OTAK, tumbuh dengan sangat pesat pada awal kehidupan, dan akan mencapai 70-80% pada 3 TAHUN PERTAMA ! Bayangkan ! Otak yang begitu penting ini ternyata sebagian besar ditentukan pada awal kehidupan kita. Saya sempat SHOCK membaca hasil penelitian ini ! Artinya, jika anda menginginkan anak anda tumbuh dengan kondisi yang TERBAIK, maka anda harus menginvestasikan waktu dan apapun pada 3 tahun pertama ini, lebih dari waktu yang lain. Jika anda mengabaikan begitu saja rentang waktu 3 tahun pertama ini, maka anak anda tidak akan berkembang dengan maksimal, dan anak anda akan menjadi anak yang biasa-biasa saja. Apakah itu yang anda inginkan ? Tentu saja tidak ! Jika kita sebagai orangtua bisa melakukan yang terbaik bagi anak, maka itulah KEWAJIBAN kita untuk memberikan HAK anak kita. Di buku berbahasa Jepang yang berjudul Anak Cerdas dengan IQ 200 Ditentukan oleh IBUNYA, dicantumkan hasil interview terhadap banyak sekali ibu yang berhasil mendidik anaknya menjadi sangat cerdas sekali. Intinya, peran ibu yang BENAR pada 3 TAHUN PERTAMA akan sangat menentukan kecerdasan anaknya. Maksud kata yang BENAR disini, tidak ada hubungannya apakah sang ibu tersebut bekerja ataukah sebagai ibu rumah tangga secara full-time. Disini saya akan sampaikan TIPS yang sangat AMPUH yang HARUS dilakukan oleh ibu, terutama ibu yang bekerja karena waktu bersama dengan anak sangat terbatas. Tetapi sebenarnya juga perlu diperhatikan oleh ibu rumah tangga yang full-time, karena biasanya, karena merasa punya waktu banyak dengan anak, tetapi justru tidak segera dilakukan dengan konsisten. Apa saja tips tersebut ? PERTAMA, Berikan waktu 1 JAM KHUSUS setiap harinya, tanpa boleh diganggu gugat oleh kegiatan lain, untuk anak anda untuk berinteraksi dengan kegiatan yang efektif bagi perkembangan kecerdasannya. Untuk memberikan gambaran yang nyata, saya terjemahkan saja garis besar salah satu hasil wawancara di buku yang saya sebutkan diatas tadi. Seorang ibu yang sekaligus wanita karir yang bernama Sakane berhasil mendidik anaknya, Akio (3 th 5 bln) mencapai IQ 198. (catatan : IQ rata-rata anak pada umumnya adalah 90 s.d. 109). Sebagai seorang wanita karir, Ms. Sakane terpaksa harus menitipkan Akio di TPA (Tempat Penitipan Anak) sejak usia 3 bulan, dari pagi dan dijemput jam 5:30 sore. Tiba di rumah biasanya sekitar jam 6 lebih. Setelah itu, sebelum menyiapkan makan malam pada jam 7:30, Ms. Sakane memberikan WAKTU KHUSUS selama 1 JAM kepada Akio untuk melakukan program pendidikan anak. Ms. Sakane bercerita : ———– Karena saya bekerja, waktu 30 MENIT sebelum membawa Akio ke TPA dan 1 JAM setelah pulang ke rumah merupakan waktu yang SANGAT BERHARGA. Waktu 1 jam ini, jika saya melakukan hal-hal lain yang bermacam-macam akan menjadi waktu yang hilang begitu saja. Tetapi waktu 1 jam ini saya tentukan khusus untuk Akio, tanpa melakukan hal lain apapun juga. Saya gunting gambar-gambar binatang dan gambar yang menarik lainnya dari buku/majalah, kemudian saya buat kartu bergambar dan saya tunjukkan kepada Akio satu-per-satu. Pada awalnya saya berpikir, apakah ada artinya saya mengajarkan hal-hal kecil ini. Tapi, karena saya pernah mendengar bahwa hal ini sangat baik untuk olah raga otak, maka saya teruskan juga. Anak saya sepertinya sangat senang sekali melihat gambar yang berubah dengan cepat dan terus-menerus, dia melihatnya dengan sungguh-sungguh. Pada awalnya saya khawatir apakah hal ini ada hasilnya, tetapi begitu Akio mulai bisa bicara, saya menjadi yakin dan berpikir, Oo.. ternyata dia mengerti !. Setelah itu saya perkenalkan dengan DOTS CARD (kartu untuk belajar berhitung), dan menjadi mahir berhitung tambah-kurang-kali-bagi. Sekarang Akio sudah mulai bisa perhitungan akar dan persamaan tingkat tinggi. Sayapun menjadi bangga kepada diri saya sendiri. Sekarang, jika saya pulang, dia langsung membawa dots card dan berkata, Mainan ini yoook…. ———- Dari situ kita bisa melihat bahwa jika waktu yang sebentar itu hanya untuk bermain yang tidak jelas, maka waktu tersebut akan hilang begitu saja. Dengan hal-hal seperti diatas, akan besar sekali manfaat yang diperoleh oleh anak kita. Pengalaman saya sendiri, setelah beberapa bulan menerapkan hal yg sama kepada kedua anak saya, Rihan (4 th) dan Afi (1 th 4 bln), hasilnya cukup mulai kelihatan. Rihan sudah sangat lancar membaca Bahasa Jepang (huruf Hiragana dan Katakana) sejak usia 3 tahun. Untuk Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, kelihatan berkembang dengan lebih baik berkat penerapan kartu bergambar tersebut (istilah populer dalam pendidikan anak adalah FLASH CARD). —- catatan ——- Anda bisa mendapatkan FLASH CARD seri BalitaCerdas Bahasa Indonesia dengan cara akses ke : www.balitacerdas.com/fc Untuk mendapatkan DOT CARD, silahkan akses ke : www.balitacerdas.com/dc ——————— Sedangkan Afi, walaupun belum bisa berbicara, sudah kelihatan sekali senang dengan huruf dan buku. Bangun tidur pagi, dia biasanya langsung mengambil bukunya untuk minta dibacakan ataupun dia lihat-lihat sendiri. Kelihatan sangat lucu sekali melihat anak seusia Afi membaca buku sendiri sambil kadang-kadang mengeluarkan suara yang bermacam-macam :) Jadi, jika anda belum melakukan hal yang sama, SEGERA anda lakukan permainan ini kepada anak anda. Cukup HANYA 1 JAM sehari, tetapi pengaruhnya sangat luar biasa….. dan ini sudah TERBUKTI ! Di buku yg saya sebutkan di atas dikatakan bahwa saat ini di Jepang sedang terjadi REVOLUSI SECARA DIAM-DIAM dalam pembelajaran anak usia dini ( 0 s.d. 3 Tahun ). Dan sayapun merasakannya dengan melihat semakin banyaknya masalah pembelajaran usia dini dibahas di media massa. Selain itu, di grup 4 tahun ‘sekolah’-nya Rihan (selevel TK A di Indonesia (?)), semuanya sudah lancar membaca. Jika kita tidak segera melakukan hal yang sama kepada anak-anak kita, akan semakin tertinggallah bangsa kita ini ! Marilah kita ikut mencerdaskan generasi masa depan kita dengan dimulai dari keluarga kita sendiri. Tips yang KEDUA, Untuk para orangtua yang bekerja, anda perlu MEMONITOR dan memberikan PENGARAHAN yang benar kepada babysitter atau siapa saja yang mengasuh anak anda tentang kegiatan yang perlu dilakukan oleh anak anda selama anda tidak di rumah. Buatlah DAFTAR KEGIATAN anak anda dengan jelas, sehingga babysitter anda tahu apa yang harus dilakukan setiap harinya dalam hal kegiatan yang mampu memberikan stimulasi pada perkembangan kecerdasan anak, baik kecerdasan intelektual, emosi maupun perkembangan fisik dan sosialnya. Jangan sampai babysitter anda hanya bertugas menjaga SAJA, tanpa memberikan stimulasi-stimulasi yang sangat diperlukan oleh anak anda. Akan sangat kasihan sekali anak anda nantinya, jika lingkungannya di masa yang sangat haus akan stimulasi ini ternyata tidak memberikan HAK-nya yang akan menjadi HARTA yang PALING BERHARGA di masa depan. Cara yang pernah kami lakukan ternyata SANGAT EFEKTIF dan MUDAH diikuti oleh babysitter kami dulu. Sayangnya, cara pembuatan daftar tersebut tidak bisa dijelaskan dengan baik melalui newsletter ini, karena diperlukan gambar tabel kegiatan. Jika anda mempunyai eBook 3 Tahun Pertama yang Menentukan, saya anjurkan sekali untuk segera menerapkan cara kami tersebut, seperti yang dijelaskan di bagian Memilih Pengasuh Anak yang Berkualitas, yang merupakan salah satu dari 10 Tindakan Penting untuk Merangsang Perkembangan Otak Anak. Jika anda belum punya eBook 3 Tahun Pertama yang Menentukan, saya anjurkan sekali untuk SEGERA mendapatkannya, karena informasi yang tersedia SANGAT PENTING untuk diterapkan demi masa depan anak anda. Ingatlah selalu, waktu terpenting dalam kehidupan anak anda terus berjalan dengan cepat. IT’S NOW OR NEVER ! Selamat menerapkan tips diatas dengan KONSISTEN setiap harinya. oleh: Taufan Surana Learn more »

Seberapa Cerdaskah Anak Anda?

Bicara tentang kecerdasan seorang anak, kita mungkin akan segera menghubungkannya dengan IQ. Tetapi, tahukah anda apa IQ (Intelligence Quotient) itu ? Berbagai definisi tentang IQ ini bisa diperoleh dari berbagai sumber, dan yang paling mudah untuk dipahami adalah seperti yang diilustrasikan di bawah ini. IQ = (Usia Mental) / (Usia Kronologis) x 100 Usia Mental adalah kapasitas otak yang diukur berdasarkan usia rata-rata anak yang memiliki standard berpikir yang sama. Usia Kronologis adalah umur anak ketika dilakukan tes IQ kepadanya. Misalnya, seorang anak usia 10 tahun mempunyai IQ 170, didapatkan dari perhitungan : 17 / 10 x 100 = IQ 170 Artinya, anak tersebut termasuk anak jenius karena dengan usianya yang 10 tahun, dia mempunyai angka tes orang yang berusia 17 tahun. Hal yang perlu diperhatikan sekali disini, nilai IQ seperti diatas biasanya adalah nilai untuk mengukur kecerdasan AKADEMIK atau IQ VERBAL anak, yaitu kemampuan anak untuk belajar dengan cepat dengan cara membaca dan menulis. Tentu saja, kemampuan anak untuk mencapai nilai IQ seperti di atas yang lebih baik adalah penting, TETAPI itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan apakah anak tersebut tergolong cerdas atau tidak. Mengapa ? Howard Gardner di dalam bukunya yang berjudul Frames of Minds menunjukkan bahwa ada 7 kecerdasan yang berbeda. 1. Linguistik Verbal Kecerdasan yang biasanya dipakai oleh institusi pendidikan untuk mengukur IQ seorang anak, seperti yang dijelaskan di atas. 2. Numerik Kecerdasan yang berhubungan angka atau matematika. 3. Spasial Kecerdasan yang berhubungan dengan kreatifitas seperti kesenian, desain, dsb. 4. Fisik Kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan fisik seperti para atlet olahraga, dsb, termasuk juga orang yang cepat belajar dengan cara melihat, menyentuh dan mengerjakan sesuatu secara langsung. 5. Lingkungan Kecerdasan yang dimiliki oleh orang yang mampu berhubungan dengan alam seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, seperti misalnya pelatih binatang, dsb. 6. Interpersonal Kecerdasan yang dimiliki oleh orang yang mampu berbicara dan berkomunikasi dengan mudah dengan orang lain. 7. Intrapersonal Kecerdasan ini sering disebut dengan kecerdasan emosi, atau emotional intelligence, yaitu kemampuan seorang anak untuk mengendalikan atau mengatur dirinya sendiri. Daniel Goleman, di dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence, mengatakan bahwa kecerdasan emosi ini adalah yang TERPENTING dari kecerdasan yang lain. Hal ini terbukti bahwa banyak sekali orang yang sukses bukan karena IQ-nya yang tinggi, tapi karena kecerdasan emosinya yang sangat baik. Yang ingin saya katakan disini adalah, jika anda menginginkan anak anda tumbuh menjadi cerdas, anda perlu melihat dengan seksama, kecerdasan seperti apa yang dimiliki secara alami oleh anak anda. Tentunya tidak mudah untuk menemukannya pada waktu yang singkat, karena seseorang anak bisa memiliki berbagai kecerdasan sekaligus. Contohnya, seorang arsitek yang hebat mempunyai kecerdasan no. 1, 2 dan 3 diatas sekaligus. Jadi, berikan kesempatan anak anda untuk melakukan sebanyak mungkin kegiatan yang bervariasi, sehingga dia akan menemukan kegiatan yang paling sesuai untuk dirinya. Selain itu, jangan bosan-bosan untuk melatih kecerdasan emosi anak sejak dini. Misalnya, berikan kesempatan kepada anak untuk merasa kecewa, seperti misalnya dengan tidak menuruti segala kemauannya. Tetapi yang lebih penting disini adalah kemampuan orang tua untuk mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengatasi rasa kecewa tersebut. Jika anda salah dalam melakukannya, anda justru merusak kecerdasan emosi anak anda. Satu hal TERPENTING dalam mengasuh anak menjadi cerdas adalah : JANGAN membanding-bandingkan anak anda dengan anak lain! Hal ini akan sangat menghambat perkembangan kecerdasan anak anda. Setiap anak PASTI mempunyai kelebihan dari anak lain. Lihatlah selalu kelebihan anak anda, dan jangan etrfokus pada kelemahannya. Pada dasarnya semua anak dilahirkan dalam keadaan sangat cerdas. Sikap dan pengetahuan serta kemampuan orang tua-lah yang sangat menentukan apakah kecerdasan anak akan semakin berkembang atau justru semakin terkubur tanpa sempat terlihat. Memang cukup banyak memerlukan energi, waktu dan biaya untuk menjadi orang tua yang baik. Walaupun begitu, jangan lupa untuk selalu mengingat juga Langkah Kesepuluh dari 10 Tindakan Penting untuk Merangsang Perkembangan Otak Anak seperti yang dijelaskan di ebook 3 Tahun Pertama yang Menentukan. Jika anda mengabaikan langkah kesepuluh ini, anda tidak akan bisa menjadi orang tua yang efektif dalam mengasuh anak anda. Selamat mengasuh anak anda menjadi anak yang semakin cerdas. Learn more »

Bagaimana Flashcards dan Dotcards Mampu Meningkatkan Kecerdasan Anak

Setelah saya menulis artikel yang berjudul Meningkatkan Kecerdasan Anak Balita dengan Cepat dan Pasti ! di newsletter BabyBrain eZine edisi sebelumnya, banyak sekali yang memberikan response dengan pertanyaan, Bagaimana mungkin flashcards dan dotcards bisa meningkatkan kecerdasan anak ?(catatan: untuk selanjutnya, flashcards dan dotcards ditulis dengan FC/DC) Jawaban langsung dan singkatnya adalah : Permainan FC/DC yang dilakukan dengan menunjukkan gambar secara cepat (1 gambar per detik) akan men-trigger OTAK KANAN untuk aktif menerima informasi yang muncul di hadapan mata. Mengapa harus otak kanan ? Untuk menjawabnya, kita perlu tahu dulu apa perbedaan fungsi otak kiri dan otak kanan. Tahun 1968 (BTW, ini adalah tahun kelahiran saya :) , Dr. Roger Sperry pertama kali menemukan perbedaan fungsi otak yang berbeda antara belahan kiri dan kanan. Secara garis besarnya, fungsi yang dikendalikan oleh masing-masing belahan otak adalah sbb : OTAK KIRI mengendalikan : - pikiran sadar - analisa, logika, rasional - bahasa OTAK KANAN mengendalikan : - pikiran bawah sadar - emosi - kreatif, intuitif Mungkin anda pernah mendengar dimana para ahli mengatakan bahwa kita HANYA menggunakan sekitar 3-5% dari seluruh kemampuan otak. Mengapa ? Karena sebagian besar kemampuan otak terkunci di dalam pikiran bawah sadar, yang merupakan bagian dari otak kanan. Jika dijabarkan lebih lanjut, otak kanan akan mengendalikan fungsi : - photographic memory - speed reading, listening - automatic mental processing - mass-memory - multiple language acquisition - computer-like math calculation - creativity in movement, music and art - intuitive insight Anda lihat, betapa powerfulnya kemampuan yang tersimpan di otak kanan, sementara hampir seluruh kehidupan kita, baik mulai dari sekolah sampai dengan kegiatan sosial sehari-hari hanya menekankan pada kemampuan otak kiri. Artinya, sistem pendidikan dan masyarakat saat ini hanya menfokuskan pada kemampuan otak kiri saja. Perkembangan otak kanan seakan-akan ditinggalkan begitu anak masuk Sekolah Dasar. Anda lihat, begitu masuk SD, anak selalu dituntut untuk selalu berpikir logis, rasional, dst., yang merupakan sifat dari fungsi berpikir otak kiri. Jangan salah paham ! Saya TIDAK mengatakan bahwa perkembangan otak kiri itu tidak diperlukan. Kemampuan otak kiri yang baik SANGAT diperlukan. Tetapi, perkembangan otak kanan-pun JANGAN sampai ditinggalkan ! Artinya, kita perlu menyeimbangkan kemampuan kedua belahan otak, supaya kecerdasan anak berkembang dengan maksimal. Dan sebelum anak-anak kita terlanjur terjun ke dunia otak kiri di sebagian besar hidupnya nanti, maka tugas kitalah untuk mengembangkan otak kanan anak. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perkembangan otak kanan, antara lain yaitu imaging training (latihan berimajinasi), visualisasi, dll., termasuk juga permainan FC/DC. Mengenai permainan dotcards, ada sebuah pertanyaan yang sangat sering ditanyakan, yaitu, Kita orangtua saja tidak bisa mengerti berapa jumlah dot yang diatur secara acak itu. Bagaimana mungkin anak balita bisa menerima dan mengerti ?. Disitulah perbedaan orang dewasa dengan anak balita. Kita orang dewasa sangat cenderung menggunakan otak kiri untuk menerima segala informasi, sedangkan anak balita sangat mudah menerima informasi dengan menggunakan otak kanannya. Contohnya, jika saya katakan no.telp. saya adalah 89678524, apakah anda langsung ingat sekarang ? Saya yakin sebagian besar dari kita tidak akan ingat. Mengapa ? Karena kita menerima informasi tersebut dengan otak kiri yang kemampuan menyimpan memorinya sangat terbatas. Dr. Makoto Shichida, seorang spesialis perkembangan anak balita, dalam bukunya Right Brain Education in Infancy menjelaskan sebuah hasil studi di Nippon Medical Center oleh Prof. Shinagawa terhadap seorang anak yang bernama Yuka Hatano. Yuka Hatano adalah seorang juara dunia menghitung cepat, yang mampu menghitung 16 digit soal LEBIH CEPAT daripada kalkulator ! Ketika Yuka melakukan perhitungan tersebut, melalui PET scan terlihat bahwa yang mengendalikan fungsi otaknya adalah otak kanan bagian belakang. Itulah kehebatan dari otak kanan yang telah berkembang. Di sekolah Shichida, saya melihat bagaimana anak-anak SD mampu membaca 1 jilid buku hanya dalam waktu 3-5 menit saja, dan dia tahu persis apa isi buku yg dibacanya. Menurutnya, dia seperti memotret tiap-tiap halaman buku tsb, dan ketika ditanya, dia akan membuka tiap-tiap halaman bukunya di dalam otaknya untuk mencari jawabannya dengan cepat. Jadi, mari kita berikan stimulasi-stimulasi kepada anak-anak kita sehingga perkembangan otaknya, baik kiri maupun kanan bisa tumbuh dengan seimbang. Jika anda belum pernah tahu apa itu flashcards atau dotcards, dan bagaimana cara membuat dan menggunakannya, informasinya dapat segera anda peroleh dengan cara mengirimkan email kosong ke : membaca@balitacerdas.com (untuk flashcards) matematika@balitacerdas.com (untuk dotcards) Sampai jumpa di edisi berikutnya. oleh : Taufan Surana (www.balitacerdas.com) Learn more »

Membesarkan Anak Yang Kreatif

Ibu dan ayah yang ingin membesarkan ‘Michel Angelo’ baru mungkin perlu sedikit menahan diri. Riset baru mengatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya benar-benar ‘membiarkan mereka’ akan menjadi lebih kreatif dibandingkan anak-anak yang orang tuanya lebih banyak terlibat dalam proses kreativitas mereka. Hasil temuan tersebut dipresentasikan oleh Dr. Dale Grubb dari Baldwin-Wallace College di Berea, Ohio, dalam pertemuan tahunan American Psychological Society. Para orang tua yang suka mengajari berbagai hal kepada anak-anak mereka, cenderung mempunyai anak-anak yang kurang kreatif, demikian ia menjelaskan. Dan yang perlu digarisbawahi ialah kadang mereka terlalu berlebihan mencoba untuk terlibat dalam proses kreativitas si anak. Biarkan kreativitas mereka berkembang Grubb menjelaskan bahwa dalam satu tes mereka memberikan beberapa pertanyaan sederhana, seperti bagaimana anda dapat menggunakan sepotong kertas?. Semakin banyak ataupun semakin ‘asing’ jawaban yang diberikan, maka mereka dianggap semakin kreatif. Tidak mengherankan, orang tua yang lebih kreatif tampaknya mempunyai anak-anak yang lebih kreatif. Namun Grubb mengatakan bahwa mereka masih tidak jelas apakah hal ini terjadi karena faktor genetik atau cara mereka mendidik. Dengan memusatkan perhatian pada cara orang tua mendidik, para peneliti merekam interaksi antara orang tua dan anak mereka saat sedang bermain. Mereka membuat asumsi bahwa orangtua dengan cara mendidik yang paling mendukung dan ‘memungkinkan’, akan mempunyai anak-anak yang paling kreatif. ‘Memungkinkan’ berarti bersikap sangat fokus pada anak, bertanya kepada si anak tentang apa yang ingin ia lakukan, mengapa begini atau begitu serta hal-hal lain yang seperti itu, Grubb menjelaskan. Tetapi asumsi yang mereka buat ternyata keliru. Gaya mendidik yang ‘memungkinkan’ bukan hanya tidak ada kaitannya dengan tingkat kreativitas tertentu dari anak, akan tetapi justru – meskipun tidak besar – cenderung menyebabkan berkurangnya kreativitas. Malah gaya ‘memungkinkan’ ini dapat dengan mudah berkembang menjadi apa yang disebut sebagai sikap ‘memaksa’, yang membuat orang tua sering berkata: Jangan begitu, lakukan seperti ini, dan tidak memberikan banyak pilihan kepada anaknya, kata Grubb. Pesan yang dapat diambil, menurut Grubb, adalah bahwa kalau orangtua menghargai kreativitas si anak dan memberikan dukungan tanpa terlalu mengarahkan dan kalau mereka sendiri memang kreatif, maka mereka mungkin akan mempunyai anak-anak yang lebih kreatif. Bagaimana hal ini dapat diterapkan ke dalam ruang bermain anak ? Pertama-tama, hindari alat-alat permainan yang memaksakan konsep struktur atau membatasi kreativitas si anak. Berikan kepada mereka kertas putih polos, bukan buku mewarnai (dengan gambar-gambar yang telah ditetapkan sebelumnya) dan biarkan mereka menemukan sendiri kemana mereka ingin pergi. Pilih alat-alat permainan yang bentuknya lebih mudah diubah-ubah (seperti lilin mainan), ketimbang balok-balok yang saling disambung dan hanya dapat membentuk bangunan persegi yang terbatas. Namun yang paling penting, selalu berikan pujian atas usaha yang telah mereka lakukan. Mereka mungkin saja menggambar sesuatu yang konyol atau tidak masuk akal, namun tetap berikan pujian karena mereka telah mencoba membuat sesuatu yang baru, demikian saran Grubb. (sumber: satumed.com) Learn more »

Inteligensi dan IQ

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah : Faktor bawaan atau keturunan Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal. Faktor lingkungan Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Inteligensi dan IQ Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. Pengukuran Inteligensi Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911. Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat. Inteligensi dan Bakat Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah Tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey. Inteligensi dan Kreativitas Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas. Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan. (sumber: iqeq.web.id) Learn more »

Seni Berbicara dengan Bayi

Berikut ini panduan seni berbicara dengan bayi untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya: 1. Memperkenalkan Nama Benda Perkenalkan segala sesuatu di sekitar kita kepada bayi. Ini bisa dimulai dengan yang sederhana, seperti wajah kita. Yuk, ajak tangan bayi menjelajahi wajah kita. Sambil menyentuh setiap bagiannya, sebutkan mana mata, hidung, mulut, telinga, dan lain-lain. Lalu, lanjutkan dengan anggota tubuh. Lebih jauh lagi, perkenalkan bayi pada nama-nama benda di sekitarnya; bola, meja, kursi, kotak. Perkenalkan pula si kecil pada pohon, mobil, kucing, anjing, dan aneka obyek di luar rumah. 2. Menjadi Pendengar Meski bayi belum mampu mengungkapkan keinginan atau gagasan lewat kata-kata yang jelas, sebaiknya mulailah “mendengarkan” setiap ia “mengungkapkan” sesuatu. Jadilah pendengar aktif. Usahakan mengira-ngira apa yang ingin bayi ungkapkan. Lalu, berikan respon. Misal, “Oh, bagus sekali!” atau “Apa betul?” Ajak pula bayi berdialog, meski ia hanya akan merespon dengan gumaman, gerakan, senyum atau bahasa tubuh lainnya. 3. Memperkenalkan Konsep Segala sesuatu di sekitar bayi merupakan hal baru baginya. Nah, kewajiban kitalah mengenalkannya kepada bayi melalui berbagai konsep, eperti konsep panas-dingin, naik-turun, masuk-keluar, kosong-penuh, berdiri-duduk, basah-kering serta besar-kecil. Pengenalan konsep dasar ini bisa dilakukan sesederhana mungkin. Dan, bisa didapat dari peristiwa sehari-hari di sekitar bayi. Misal, saat menggantikan popok, kita bisa memberitahukan padanya, “Popokmu basah kena pipis. Nah, sekarang Mama ganti dengan popok yang kering.” 4. Menjelaskan Sebab-Akibat Konsep sebab-akibat juga perlu diperkenalkan, mengingat bayi sedang giat mempelajari segala sesuatu. Kita bisa mulai dengan menjelaskan berbagai fungsi dan sebab-akibat bekerjanya benda di rumah. Misal, tombol lampu. “Kalau tombol ini Mama tekan ke atas, lampu akan menyala dan ruangan jadi terang. Tetapi kalau ditekan ke bawah, lampu padam dan ruangan jadi elap.” Tentu saja tak cuma benda mati. Sebab-akibat pada perasaan orang juga bisa diperkenalkan. Contoh, “Mama sedih kalau kamu nggak mau makan”. Ini akan mengasah kepekaan bayi. 5. Memperkenalkan Warna Warna-warni bisa ditunjukkan sambil memperkenalkan benda dan segala sesuatu di sekitar bayi. Misal, “Itu balon, Nak. Warnanya merah, seperti bajumu.” 6. Mengulangi Kata-Kata Agar bayi mampu mengingat lebih tajam segala sesuatu yang diperkenalkan padanya, sebaiknya kata-kata yang diperkenalkan selalu diulang-ulang. Misal, “Pintar, makannya sudah habis. Haaabiiis.” 7. Memperkenalkan Kata yang Benar Hindari penggunaan kata-kata yang dipermudah atau dicadel-cadelkan, seperti “mamam” untuk makan, “mimik” untuk minum, atau lainnya. Gunakan kata-kata yang benar. Karena, ini membantu bayi memahami konsep dengan benar. 8. Perkenalkan Kata Ganti Walau bayi belum bisa menggunakan kata ganti, tak ada salahnya mulai memperkenalkannya. Beritahu pula konsep kepemilikan. Misal, “Ini kue untuk Adek, untuk kamu,” atau “Ini punya Mama, punya saya”. 9. Memacu Respons Banyak cara memancing bayi agar merespons atau menjawab pertanyaan kita. Misal, memberi berbagai pilihan dan meminta bayi memilih salah satu, “Mau pakai baju merah atau kuning?” Atau, bisa juga meminta bayi menunjukkan atau mengambil benda yang kita tanyakan, “Coba, yang mana boneka Laa Laa?” 10. Hindari Pemaksaan Jika bayi cuma menjawab dengan ekspresi atau bahasa tubuh, bantulah dengan memberi pilihan. Misal, “Ari mau pilih bola atau boneka?” Kalau kata-katanya tetap tak keluar, komentari pilihannya, “Oh, Ari pilih bola, ya?” Hindari pemaksaan bila bayi tetap tak mau bicara. Bersabar dan teruslah berlatih. 11. Menyederhanakan Arahan yang rumit bisa membingungkan bayi. Jadi, sampaikanlah arahan verbal satu per satu. Misal, “Tolong ambilkan bola.” Tunggu sampai bayi melakukannya, baru lanjutkan, “Nah, sekarang berikan pada Mama.” Beri pujian bila “tugas” itu dilakukan dengan baik, agar bayi tahu bahwa yang dilakukannya benar. 12. Hati-hati Memperbaiki Kekeliruan berbahasa karena keterbatasan artikulasi bayi bisa mulai diperbaiki secara hati-hati. Ungkapan “..bil!” untuk “mobil”, dapat langsung diperbaiki lewat jawaban “Pintar, itu mobil”. Tak perlu mengulang-ulang kesalahan ucapan bayi. Sebetulnya ia sudah mengetahui ucapan yang seharusnya keluar. 13. Membaca Bersama Perkenalkan bayi pada buku bacaan bergambar yang memiliki kalimat berirama dan sederhana seperti pantun. Ajaklah ia bersama-sama mengucapkan dan menunjukkan gambar-gambarnya. Misal “Gajah bermain bola.” Mintalah bayi menunjukkan mana gajah dan mana bola. Lakukanlah ini sesering mungkin. Lama-lama bayi akan akrab dengan kata-kata di buku tersebut dan tertarik untuk belajar lebih banyak lagi. 14. Mengenalkan Angka Ini bukan pelajaran berhitung, melainkan sekedar mengenal angka satu dan lainnya sambil bermain. Misal, “Adik boleh ambil satu kue. Saa-tuu…” (sambil memperlihatkan jari kita menunjukkan “satu”). Atau, “Ambil mainan, yang baaa-nyaak.” Menghafal angka juga sudah bisa dilakukan. Sambil naik tangga atau memasukkan mainan ke dalam boks, kita membilang, “Satu, dua, tiga…” 15. Menyanyi Menyanyi adalah cara mudah “merekamkan” beragam kosakata di benak bayi. Kelak, begitu mendengar potongan melodi dan irama lagu tersebut, rekaman itu akan keluar dengan sendirinya dari mulut bayi. (sumber: klinikpria.com) Learn more »

Mencetak Anak Cerdas ? …GAMPANG !

Anak cerdas tentu dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di hadapannya. Beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati, melainkan dapat diupayakan. Dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetik cuma memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk IQ anak. Sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika si anak masih dalam kandungan. Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit. ”Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi kedelapan atau berikutnya”, ungkap McGue. ”Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula.” Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak. Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang dimaksud tak lain adalah upaya memberi ”iklim” tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan agar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. Atau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak. Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan ”miskin” rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya. Gizi dan Perilaku Ibu Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. ”Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan”, jelasnya. ”IQ sangat tergantung pada bobot lahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 – 7 angka di bawah anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil”, tambahnya. Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak normal. Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin. Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 – 20% lebih ringan dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40% bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang mendapatkan gizi baik. Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 – 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar. Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku ”buruk”ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah. Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi-bayi yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 – 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 – 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu tidak merokok saat hamil. Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar 2.000 – 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel-sel dan sistem syaraf. Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B-12 dan C, asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah. Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 – 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk, bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuai tahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan sehari harus mengandung 10 – 15% kalori dari protein, 20 – 35 % dari lemak, dan 40 – 60% dari karbohidrat. Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia dua tahun. Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan. Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam. Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan. Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar. Tempat Tinggal dan Cerita Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan kesempatan emas bagi kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak. Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan ketakutan dan kegaduhan pada anak. Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 – 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama. Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka. Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai. by : Khamid Wijaya/dr. Audrey Luize/M. Harli/Masitoh Learn more »

Kecerdasan Majemuk, Kecerdasan Seutuhnya : Mendidik Anak Cerdas dan Berbakat

Sebagai orang tua masa kini, kita seringkali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci untuk kesuksesan hidup di masa depan. Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya. Kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa? Kemudian, apa yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan cukup untuk masa depannya? Jawabannya adalah: Prestasi dalam Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence), dan BUKAN HANYA prestasi akademik. Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdasannya yang majemuk itu. 9 Jenis Kecerdasan Dr. Howard Gardner, peneliti dari Harvard, pencetus teori Multiple Intelligence mengajukan 8 jenis kecerdasan yang meliputi (saya memasukkan kecerdasan Spiritual walaupun masih diperdebatkan kriterianya): Cerdas Bahasa âۉ€Å“ cerdas dalam mengolah kata Cerdas Gambar âۉ€Å“ memiliki imajinasi tinggi Cerdas Musik âۉ€Å“ cerdas musik, peka terhadap suara dan irama Cerdas Tubuh âۉ€Å“ trampil dalam mengolah tubuh dan gerak Cerdas Matematika dan Logika âۉ€Å“ cerdas dalam sains dan berhitung Cerdas Sosial âۉ€Å“ kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain Cerdas Diri âۉ€Å“ menyadari kekuatan dan kelemahan diri Cerdas Alam âۉ€Å“ peka terhadap alam sekitar Cerdas Spiritual âۉ€Å“ menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta Membangun seluruh kecerdasan anak adalah ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah tenda itu berdiri. Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki skor yang tinggi pada seluruh kecerdasan majemuk tersebut. Walaupun sangat jarang seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang, biasanya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol. Albert Einstein, terkenal jenius di bidang sains, ternyata juga sangat cerdas dalam bermain biola dan matematika. Demikian pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni, arsitektur, matematika dan fisika. Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru PERAN ORANG TUA dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung JAUH LEBIH PENTING dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi, untuk menjamin masa depan anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses sekolah semata. Ayah-Ibu HARUS berusaha sebaik mungkin untuk menemukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Bagaimana caranya ? Kita bisa mendiskusikannya panjang lebar di acara seminar akhir bulan Juli nanti yang akan diselenggarakan oleh BalitaCerdas.com. Klik Disini untuk informasi lebih lanjut tentang seminar tsb. Sampai ketemu !! Oleh: Dr. Andyda Meliala Learn more »

Jatuh Tak Membuat si Kecil Jera

Saat anak memasuki usia satu tahun ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan orang tua sebagai anugerah. Tak heran kalau ulang tahun pertama umumnya dirayakan secara meriah dengan penuh rasa syukur karena si kecil sudah melewati masa bayinya. Bersamaan dengan itu, kemampuan jelajah si kecil juga sudah meluas. Ia kini sudah bisa bergerak dengan merangkak atau berjalan ke mana pun dia mau. Padahal berdiri saja belum tegak benar dan kalau melangkah masih terlihat oleng. Toh, meski sudah bolak-balik jatuh, si batita tetap saja ngotot melangkahkan kakinya untuk berjalan atau berlari tanpa mengenal takut. Sebaliknya, orang tua begitu khawatir buah hatinya akan terantuk atau terjatuh. Lalu dengan alasan melindungi, orang tua akan membatasi eksplorasinya. Pertanyaannya, apakah perlakuan orang tua yang seperti itu sudah tepat? JATUH-BANGUN PERKAYA MEMORI Agaknya perlu disimak pendapat psikolog dari RSAB Harapan Kita, Dra. M Louise M.M. Psi. Ia menegaskan, kegagalan atau jatuh-bangun dalam proses belajar merupakan hal yang biasa. Dulu selagi kita belajar naik sepeda, contohnya, siapa sih yang tidak terluka karena jatuh? Begitu juga saat kita tengah belajar berjalan. Coba saja tanyakan ke orang tua kita berapa puluh kali dulu kita jatuh bangun saat itu. Jadi benar kata pepatah, Kalau ingin berhasil ya harus berani gagal dulu. Bukankah ketika anak terjatuh, ia akan merasa makin tertantang dan berintrospeksi. Oh ternyata sakit dan enggak enak ya kalau jatuh. Momen inilah yang bisa dijadikan anak untuk berintrospeksi, tentunya setelah diarahkan orang tua. Cantohnya, Oh, kata mama aku jatuh karena terpeleset di lantai yang licin. Mama bilang kalau jalan aku harus hati-hati. Dari pengalaman semacam itu anak akan belajar, Aku enggak mau lagi jatuh. Soalnya, jatuh itu sakit. Begitu ia mendapat pengalaman dan belajar darinya, saat menghadapi jalan licin, memori mengenai pengalaman tak enak tadi akan muncul sebagai data, Jalan ini licin. Aku harus pegangan dan hati-hati supaya enggak jatuh lagi. Nah, refleks semacam ini jika muncul terus-menerus akan terakumulasi sebagai suatu bentuk keterampilan yang membuat anak siaga. Tentu saja bukan berarti setelah itu anak langsung lancar jalannya. Setiap kali menghadapi rintangan atau situasi baru yang datanya belum terekam, bukan tidak mungkin ia jatuh lagi. Terutama kalau ia belum mampu mengerem kecepatan langkahnya atau berbalik arah secara mulus. Kemungkinan lain, anak terjatuh karena tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya saat melangkah di atas permukaan yang tidak rata. Itulah sebabnya, tandas Lusi, Makin kaya pengalaman yang didapat, kian banyak proses pembelajaran dan data yang diperoleh anak sebagai bekalnya untuk bisa berjalan normal seperti orang dewasa. Ia menambahkan, data yang akan memperkaya memori anak bisa diberikan orang tua dalam bentuk trik yang dipraktekkan, jadi bukan hanya lewat pengalaman terjatuh. Caranya, sering-seringlah mengajak batita belajar berjalan. Namun ketika melewati jalan yang berpeluang menyebabkan anak jatuh, orang tua sebaiknya langsung memberikan masukan. Misalnya, Hati-hati ya Sayang, jalannya menanjak nih. Kamu mesti jalan pelan-pelan sambil pegangan. Begitu juga saat anak melakukan gerakan berjalan yang membuatnya tidak seimbang. Sambil menuntun anak, orang tua bisa memberikan contoh, Lihat Ayah deh. Begini nih, kalau berjalan, pandangan lurus ke depan. Hanya saja trik seperti ini lebih sering menemui jalan buntu karena pola pikir anak masih konkret. Dengan kata lain, masukan data akan lebih cepat terekam apabila ia mendapat pengalaman langsung. JANGAN PELIT REWARD Saat bisa melakukan sesuatu yang baru, anak juga perlu tanggapan dari orang tuanya. Lusi menyarankan, tanggapan ini sebaiknya diberikan dalam bentuk reward saat itu juga. Cukup dengan kalimat sederhana seperti, Hore anak Ayah sekarang sudah bisa jalan sendiri. Tujuannya agar anak merasa usahanya dihargai dan diperhatikan oleh orang tuanya. Selain itu, ia jadi tahu bahwa apa yang dilakukannya sungguh menyenangkan hati ayah ibunya. Begitu pula saat anak terjatuh, orang tua tetap perlu memberi tanggapan positif. Caranya? Lusi mengingatkan agar orang tua tidak bersikap panik. Segala ekspresi kepanikan bisa terbaca oleh anak lewat kata-kata maupun mimik wajah ayah dan ibu. Kalau orang tuanya saja panik, jangan salahkan anak bila ikut-ikutan panik yang akhirnya berkembang jadi ketakutan. Pun, karena keterbatasan pengetahuannya, kepanikan orang tua akan ditangkap anak sebagai bentuk kemarahan yang mengurungkan keberaniannya mencoba dan mencoba lagi di lain waktu. Padahal tanpa berani mencoba, bagimana mungkin anak akan bisa? Nah, ketimbang panik yang akan berdampak merugikan, mengapa orang tua tidak mencoba bersikap tenang? Kala anak kesakitan karena terjatuh, sentuhlah dengan perhatian dan kasih sayang. Contohnya sederhana saja kok, Mana yang sakit, Nak? Sini Ibu lihat. Nah, sekarang kita bersihkan lalu kita kasih obat luka ya supaya cepat sembuh. Akan lebih kena bila sambil berkata demikian, ayah atau ibu memeluk dan mengusap-usap bagian tubuhnya yang sakit. Lalu setelah anak tenang, ajak dia belajar berjalan lagi. Beri petunjuk bagaimana caranya agar tidak jatuh. Jika ini yang dilakukan, anak akan termotivasi untuk terus mengulang dan mencoba sampai akhirnya bisa berjalan lancar. AGAR TAK PUTUS ASA Anak usia batita pada dasarnya tak kenal takut atau tak gampang jera. Namun, kalau dalam kenyataannya ada anak yang terkesan takut mengambil risiko jatuh, kata Lusi, itu lebih karena dipengaruhi lingkungan. Orang tua yang terlalu melindungi atau gampang panik, misalnya, dapat membuat anak takut berjalan yang akhirnya menutup kesempatan dirinya melatih kemampuan. Akibatnya, di kemudian hari anak bahkan kurang memiliki keterampilan menghadapi tantangan. Jadi, khawatir sih boleh-boleh saja asalkan tidak berlebihan. Perkecil kemungkinan kita berseru, Awas jatuh! atau Awas terpeleset! dengan melakukan beberapa antisipasi, seperti menyeka lantai yang basah sampai kering dan menyingkirkan semua furnitur yang berpeluang membahayakan atau menghambat gerak anak. Tentu saja sambil tak lupa untuk terus mendampingi dan mengawasinya secara wajar. Tips & Trik STIMULASI BERJALAN * Di usia 9-11 bulan saat anak sudah bisa berdiri sendiri, perhatikan dengan seksama apakah berdirinya sudah tegak dan seberapa lama ia mampu bertahan. Jika belum, jangan bosan melatihnya kembali sampai anak bisa berdiri tegap untuk waktu cukup lama. Caranya, letakkan mainan kesukaan anak di atas kepalanya agar ia tertantang untuk mencoba menggapai-gapai mainan tersebut. * Jika sudah bisa berdiri sendiri tanpa berpegangan, amati apakah masih tidak seimbang dan berapa lama ia bisa bertahan. Jika sudah bisa berdiri tegap, itu berarti anak sudah siap mendapat stimulasi berjalan. Perhatikan apakah posisi jari kaki anak menekuk atau tidak. Jika menekuk, itu tandanya dia masih perlu stimulasi supaya berani dan terbiasa menahan berat badannya dengan bertumpu pada kedua kakinya. * Sedangkan bila tidak, orang tua wajib mengajaknya mau ditatih. Caranya, biarkan kedua tangannya memegangi kedua tangan kita lalu ajaklah ia melangkahkan kakinya. Bila dirasa sulit, posisikan kedua telapak kakinya di atas punggung kaki kita. Sambil tangan kita tetap memegangi kedua tangannya, ajaklah ia melangkah. Agar suasananya menyenangkan dendangkan lagu saat kita melangkahkan kaki. * Begitu anak bisa berjalan merambat, umumnya anak tahu bagaimana caranya menggerakkan kakinya ke depan dan ke samping. Nah, inilah momen paling tepat untuk mengajaknya mau ditatih. Berikan kesan bahwa bisa berjalan itu menyenangkan. * Begitu langkah anak sudah teratur, beranikan diri untuk hanya memberikan jari telunjuk tangan kanan dan kiri kita untuk dipegangi anak selagi ia ditatih. Biarkan anak melangkahkan kakinya. Orang tua tinggal mengikutinya saja dan wajib mengerem atau mengalihkan arah jika anak menuju ke tempat yang dianggap mengundang bahaya. * Bila dengan cara di atas terlihat sudah lancar, orang tua sebaiknya memposisikan diri di samping anak. Kalau di sisi kanan, berarti telunjuk kiri kita yang dipegangi anak. Begitu juga sebaliknya. * Selanjutnya, bila ia terlihat tak lagi mengalami kesulitan, saatnyalah menstimulasinya agar mau berjalan sendiri tanpa merambat atau kita pegangi. Caranya, tempatkan anak di posisi yang sekiranya tidak memungkinkan dia bisa berpegangan. Kemudian berilah dia stimulus yang bisa memancingnya untuk bergerak dengan cara melangkah menuju arah stimulus tersebut. Bentuk pancingan ini macam-macam, bisa mainan bisa pula makanan kesukaannya. Tentu saja latihan ini tidak bisa dilakukan sekali dua kali, melainkan harus terus-menerus setiap hari. * Jangan ragu untuk sering melepas anak sendiri. Kelewat sering digendong otot-otot dan saraf tubuhnya tidak terlatih. sumber:www.tabloid-nakita.com Learn more »

Mengoceh Pertanda Cerdas (1)

Mengoceh bagi bayi merupakan aktivitas yang cukup rumit. Diperlukan rangsangan yang tepat agar ocehannya makin “bicara”. Kalau bayi mulai mengoceh, ia tidak sedang iseng belaka. Ia justru sedang menunjukkan kemampuannya. Pendapat ini antara lain didasari beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika. Patricia Kuhl, Direktur Departemen Speech and Hearing University of Washington, mengungkapkan dengan mengoceh berarti bayi berlatih membangun fondasi berbahasa. Mengoceh juga menunjukkan kecerdasan si kecil. Kenapa? Karena bayi harus mentransformasikan suara atau kata-kata yang didengarnya untuk diselaraskan dengan kemampuan bicaranya. Senada dengan Kuhl, seorang spesialis percakapan dari University of Kansas, Mabel Rice, mengatakan bayi yang mengoceh berarti sedang belajar berbahasa. Hasil penelitian pakar perkembangan otak dari Amerika tahun 1999, Huttenlocher, Jusyck, dan Kuhl juga menyebutkan, pada umur 6-12 bulan bayi dapat mengenali pola bicara orang di sekelilingnya. Bayi mampu mengenali kata-kata yang sering diucapkan ayah/ibunya. Makin sering orang tua berbicara kepada si kecil maka semakin kaya perbendaharaan kata yang diperolehnya. Alhasil, dia akan lebih terampil berbicara pada umur 5-6 tahun. Jadi, ternyata bayi tak cuma mengingat perkataan orang di sekelilingnya tapi juga menganalisanya. Bahkan, ia memiliki kemampuan mengingat struktur percakapan orang yang sedang berbicara di sekitarnya. MENSTIMULASI KECERDASAN Memang, tidak bijaksana jika kita hanya menganggap mengoceh sebagai satu-satunya tolak ukur kecerdasan bayi. Seperti diungkapkan dr.Soedjatmiko,Sp.A(K),M.Si., kecerdasan merupakan suatu hal yang kompleks. Antara lain membutuhkan proses melihat, mendengar, membandingkan, menyamakan, mengelompokkan, menggabungkan, menyimpan, merepresentasikan atau mengeskpresikan melalui berbagai cara, baik verbal maupun gerakan. Nah, agar mengoceh dapat memberi kontribusi besar kepada kecerdasannya, orang tua perlu menanggapi ocehan tersebut dengan penuh kasih sayang. “Dengan begitu bayi jadi merasa aman dan nyaman. Hal ini sangat penting untuk pembentukan attachment serta basic trust pada bayi”, papar Ketua Subbagian Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI ini. Mengoceh secara tidak langsung akan merangsang kecerdasan- kecerdasan lainnya, termasuk kecerdasan emosional, komunikasi, dan logika matematika. Loh..kok sampai ke logika matematika segala? “Ya, kalau kita ingin bayi terbiasa dengan matematika, ajaklah ia berbicara mengenai konsep besar-kecil atau hitungan seperti penjumlahan dengan menggunakan alat peraga mainan. Secara otomatis hal itu menstimulasi kecerdasan matematikanya. Tentunya dengan syarat, lakukan dalam suasana bermain yang menarik dan menyenangkan “,kata Soedjatmiko. TAHAPAN KEMAMPUAN BICARA Kemampuan berbicara pada bayi terdiri atas beberapa tahapan. Berikut tahapannya menurut Soedjatmiko: Usia 0- 3 bulan Bayi mulai menunjukkan reaksi terhadap bunyi-bunyian yang didengarnya. Dia akan mencari sumber suara tersebut. Si kecil juga perhatian terhadap suara musik atau nyanyian. Usia 3-6 bulan Si kecil memandang orang yang berbicara padanya. Dia juga dapat tertawa dan mengeluarkan suara menandakan suasana hati gembira atau sebaliknya. Bayi akan terdiam memperhatikan/mendengar suara yang dikenalnya. Usia 6 -8 bulan Bayi mulai bisa mengucapkan satu suku kata. Misalnya, “Ma, pa, ta…da.” Si kecil juga akan menjerit atau mengoceh minta diperhatikan. Di usia ini bayi menanggapi pembicaraan. Usia 8-10 bulan Bayi mulai bisa bersuara bersambung. Misalnya, “Ma-ma-ma-ma, pa-pa-pa-pa, da-da-da-da, ta-ta-ta-ta.” Ocehannya mulai mirip dengan bicara. Usia 10-13 bulan Si kecil mulai bisa memanggil. Misalnya, “Mama, Papa!” Ia mulai bisa mengucapkan satu kata sederhana. (berlanjut…) Learn more »

Mengoceh Pertanda Cerdas (2)

Jangan lupa dengan melatih bayi berbicara, kita sekaligus akan merangsang perkembangan emosi, sosial dan kecerdasannya. Dengan latihan secara rutin diharapkan lama-kelamaan bayi dapat menjawab ucapan orang tuanya dengan kata-kata bahkan kalimat. Nah, supaya si kecil tidak terlambat berbicara, lakukan metode praktis melatih bayi berikut ini setiap hari: I. Berbicaralah kepada bayi sebanyak dan sesering mungkin. 1. Bertanya pada bayi Contohnya, ”Kamu haus, ya? Mau susu lagi?; Ini gambar apa?; Ini boneka apa?; Ini warnanya apa?; Ini namanya siapa?” 2. Berkomentar terhadap perasaan bayi Contohnya, ”Kasihan, adik rewel. Kepanasan, ya? Nah, sekarang dikipasin ya?; Ooo, kasihan, adik rewel gatal digigit nyamuk, ya?; Jatuh ya? Sakit? Sini diobatin!” 3. Menyatakan perasaan ibu/ayah Contohnya, ”Aduh, Mama kangen banget sama adik. Tadi Mama di kantor ingat terus sama adik. Mmmh, Mama sayang deh, sama adik.” 4. Berkomentar tentang keadaan bayi Contoh, ”Tuh, mulutmu mungil, ya!; Wah, rambutmu masih botak!” 5. Berkomentar mengenai kemampuan atau perilaku bayi Contohnya, ”Wah, Rini sudah bisa duduk!; Eeee, Tono sudah bisa berdiri?; Horee, anakku sudah bisa jalan!” 6. Bercerita tentang benda-benda di sekitar bayi Contoh, ”Ini namanya bantal. Warnanya merah muda. Ada gambar Winnie the Pooh-nya.; Yang ini namanya boneka Teletubbies. Ini yang warna merah. Ini yang warnanya hijau. Yang itu ungu. Nih, coba peluk.” 7. Bercerita tentang kegiatan yang sedang dilakukan pada bayi Contoh, ”Adik mandi dulu, ya? Pakai air hangat, pakai sabun, biar bersih, biar kumannya hilang, biar kulitnya bagus. Sekarang dihandukin biar kering, tidak kedinginan. Wah, Adik wangi. Sekarang pakai baju dan celana. Nah, selesai. Enak, kan? Habis ini minum ASI terus tidur, ya?” 8. Bercerita tentang kegiatan yang sedang dilakukan orang tua Contohnya, ”Mama sekarang mau bikin susu buat adik! Ini susunya 3 takar ditambah air 90 ml, terus dikocok-kocok. Terlalu panas enggak? Oh, enggak. Nah, siap deh!” II. Dengarkan suara bayi, berikan jawaban atau pujian Ketika bayi bersuara atau berbicara walaupun tidak jelas, segeralah ayah/ibu menoleh dan memandang ke arah bayi dan mendengarkan suaranya seolah-olah mengerti maksudnya. Pandang matanya, tirukan suaranya, berikan jawaban atau pujian, seolah-olah bayi mengerti jawaban ayah/ibu. Contoh: Ta-ta-ta-ta? Ma-ma-ma-ma? Kenapa, sayang? Minta susu? Mau pup? III. Bermain sambil berbicara - Cilukba Ayah/ibu mengucapkan, ”Ciluuuuuuk!” sambil menutup muka dengan bantal beberapa detik kemudian bantal disingkirkan sambil ayah/ibu mengucapkan, ”Baaaaaa!” - Kapal terbang ”Nih ada kapal sedang terbang. Ngengngngngng…” Lalu arahkan kapal terbang mendekati wajah si kecil terus mendarat di atas perutnya. - Boneka Seolah-olah ayah/ibu berbicara kepada bayi, ”Halo, kamu bayi yang lucu, ya?” - Menyebutkan anggota badan Misalnya, ”Ini tangan. Ini kaki. Tiiiik…kitik…kitik., ini jari-jari.” IV. Bernyanyi sambil bermain Putarkan kaset lagu anak-anak, ikutlah bernyanyi, sambil bertepuk tangan dan goyang kepala. Misalnya, ”Pok-ame-ame, belalang kupu-kupu, tepok biar ramai, pagi-pagi minum …. susu.”; ”Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, …..hap! Lalu ditangkap.”; ”Dua mata saya, hidung saya satu…,” sambil menunjuk ke mata, hidung dan seterusnya. V. Membacakan cerita sambil menunjukkan gambar-gambar Bacakan cerita singkat dari buku cerita anak yang bergambar. Tunjukkan gambar tokoh-tokoh yang ada dalam cerita seperti binatang, benda-benda, dan manusia. VI. Banyak berbicara sepanjang jalan ketika bepergian Tunjuklah benda-benda atau kejadian sambil menyebutkan dengan kata-kata secara berulang-ulang. Itu layang-layang sedang terbang, itu kakak sedang menyeberang jalan, itu burung sedang terbang, itu pohon ada bunganya, dan lainnya. VI. Bermain dengan anak lain yang lebih jelas dan lancar berbicaranya Ajak bayi bermain dengan anak lain seperti kakak, tetangga, atau sepupu yang sudah lebih jelas berbicaranya. Kemudian, bermain bersama menggunakan boneka, kubus, balok, lego, buku bergambar dan lainnya. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN Menurut Soedjatmiko ada beberapa hal yang mesti diperhatikan orang tua ketika mengajarkan berbicara pada bayi adalah : - Jangan memaksa si kecil berbicara. - Kalau bayi bersuara walaupun tidak jelas, tetap berikan jawaban seolah-olah ibu/ayah mengerti ucapannya. - Pujilah segera kalau dia seolah berbicara benar. - Jangan menyalahkan kalau ucapannya tidak benar. - Kalau bayi sudah bosan sebaiknya beralihlah ke kegiatan lain yang menarik dan menyenangkan. - Jangan memotong ocehan bayi. Inilah alasannya: (1) Saat mengoceh, bayi sebenarnya sedang berusaha menyampaikan pendapat atau ide-idenya. Kalau orang tua sampai memotong ocehan bayi, berarti juga memotong ide yang ingin disampaikan bayi. Perlu diketahui, mengoceh merupakan bagian dari latihan mengembangkan pendapat maupun ide. (2) Kalau orang tua sering memotong ocehan bayi, dikhawatirkan si kecil kelak tak memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ia akan selalu takut untuk berbicara. (3) Bayi ingin ocehannya diperhatikan dan dihargai. Memotong ocehannya akan membuat si bayi merasa tak dihargai. Jadi, jangan sekali-sekali memotong ocehannya. –Â kontribusi Bp. Dede Maulana di milis Balita-Anda Learn more »