Anak Perlu Dipersiapkan secara Khusus




Dari Seminar Dampak Globalisasi di Kudus
SIAPA orang tua yang tidak bermimpi anaknya jadi ''anak super''? Orang tua pasti bahagia bila buah hatinya berkemampuan di atas rata-rata perkembangan normal serta siap menghadapi tantangan global. Agar tak berhenti sebagai impian belaka, anak perlu disiapkan secara khusus, kematangan kecerdasan inteleknya harus disertai kematangan kecerdasan emosi.
Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan kita yang hadir dengan kurikulum sarat beban bagi anak didik? Sudah tepat atau perlu ditinjau lagi, dan bagaimana kaitannya dengan manejemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)? Adakah yang sudah mengarahkan pendidikan untuk menjadikan anak sebagai ''anak super''?
Masalah tersebut mencuat dalam seminar ''Dampak Era Globalisasi terhadap Perkembangan Anak'' di Hotel Griptha, Minggu (14/10). Kegiatan hasil kerja sama Rumah Sakit Kartika Kudus dan PGRI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Kudus itu dibuka Sekda Drs Heru Sudjatmoko.
Pembicara dalam kegiatan itu Kepala Dinas P dan K Nurcholis Turmudzi SH (Rancangan Jangka Panjang Kurikulum SD), Dr Astini Su'udi (Keseimbangan Kecerdasan Intelek dan Kecerdasan Emosi), dan Dra Emmanuela Hadriani MSi (Menciptakan Sekolah yang Nyaman) dengan moderator Dr Fenny L Yudiarto SpS dan drg Renny Liestyawati.
Sisi Gelap
Menurut Nurcholis, lewat MPMBS dinas yang dipimpinnya sekarang hanya berperan sebagai unit pendukung dan pelayan sekolah. Sekolah memiliki kewenangan berimprovisasi untuk meningkatkan mutu sekolah yang dampaknya meningkatkan mutu peserta didik. Diharapkan siswa senang dan kerasan di sekolah.
Sedangkan Astini Su'udi menyatakan, globalisasi hendaknya dikaitkan dengan pendidikan. Namun banyak pelaksana kebijakan yang takut menghadapi era globalisasi. Mereka menyusun kurikulum yang berat bagi anak agar peserta didik siap menghadapi era tersebut.
Hasilnya anak jenuh, daya adaptasinya lemah, dan penguasaan kognitifnya mengambang. Di sisi lain, guru diburu target kurikulum, sementara kelas berisi lebih dari 40 siswa. Pernik-pernik pendidikan pun terabaikan.
Sedangkan di rumah banyak anak yang miskin kecerdasan emosi karena orang tua sibuk, menyerahkan pendidikan kepada televisi dan pengasuh. ''Sisi gelap hasil pendidikan semacam itu perlu diperbaiki,'' ujarnya.
Sementara otonomi daerah yang berimbas pada MPMBS, perlu dikaji kembali. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dicapai hanya dengan masukan, pelatihan, pengadaan sarana, dan prasana, tetapi harus perhatian khusus terhadap proses pendidikan.
Sekolah yang tahu benar kekuatan lingkungannya dapat melibatkan orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi terhadap berkembangnya kecerdasan emosi. Dengan MPMBS semestinya sekolah lebih mandiri dan menunjukkan warnanya. Tetapi mengapa yang ditonjolkan, terutama oleh sekolah kaya, selalu ke arah kognitif? Maka, kini saatnya mengembangkan kecerdasan emosi dan memberikan tempat yang cukup dalam pebelajaran.
Dari sisi pembelajaran kognitif, sudah waktunya diterapkan pembelajaran konstektual, mendalami, dan menggunakan visi science, environment, technology, and society (SETS).
Di tingkat pendidikan prasekolah dan SD, harus dilakukan perombakan mental pengelola sekolah (pengawas, kepala sekolah, dewan sekolah, guru, dan orang) dan serta perencanaan proses pembelajaran. Prinsip learning by doing atau by playing harus dirancang serius. Pembelajaran bermakna bagi siswa pada gilirannya akan membuat anak bahagia, mantap, dan miliki sejumlah kuualitas untuk menyongsong era baru.
Kesehatan Mental
Dra Emmanuela Hadriani MSi menyatakan, kesehatan anak merupakan faktor utama agar kelak mereka menjadi remaja dan orang dewasa yang berkepribadian sehat. Namun sampai saat ini tidak pernah disentuh makna kesehatan mental dalam kehidupan anak.
Di Indonesia, menurut dia, belum dipahami benar harus adanya kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk membina calon pemimpin bangsa dengan sebaiknya-baiknya, bukan sepintar-pintarnya.
Emmanuela berpendapat, jangan hanya memperbaiki segi akademis, tetapi harus disadari betapa penting kesehatan mental anak. Kalau hanya perbaikan tambal sulam, tanpa pengkajian yang benar, yang dilakukan hanya mubazir.
''Kita harus berani mengubah orientasi dari being the best (komitmen terhadap ego menjadi doing the best (komitmen terhadap tugas). Pendidikan yang dialami anak sejak dini berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup anak pada masa mendatang.
Kalau merasa senang dan nyaman, dia merasa dihargai. Dia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak dipermalukan. Tidak disalahkan terus akan menjadi anak yang sehat mentalnya. ''Potensinya terwujud dengan optimal dan Indonesia menjadi bangsa yang hebat,'' ujarnya.
Persoalannya, adakah keberanian sekolah melakukan banting setir? Memanfaatkan keran reformasi di bidang pendidikan lewat MPMBS setelah 32 tahun terbiasa dengan sistem sentralistis yang begitu mengakar bak tak tersentuh masukan dari mana pun untuk membuat siswa jadi ''anak super''?(HM Soleh AK-22c)

0 komentar: