Televisi, teman atau musuh ?



 Anak-anak suka sekali menonton teve. Memang, teve bermanfaat buat anak. Tapi jika tidak dibatasi dan diawasi, justru berbahaya. "Ayo, makan dulu! Dari tadi, kok, di depan teve terus." Kalimat seperti ini, pasti pernah terlontar dari orangtua kepada anaknya. Terutama anak usia prasekolah, yang menurut penelitian memang menunjukkan minat lebih besar pada teve ketimbang anak usia sekolah. Sebabnya? Antara lain, anak balita cenderung terbatas teman bermainnya, masih lebih banyak tinggal di rumah, dan belum mampu bersikap kritis mengenai segala sesuatu yang dilihatnya di layar kaca. Tapi kebiasaan juga pegang peranan dalam hal ini. Banyak anak sudah dibiasakan nonton TV sejak masih bayi.
Ada orangtua menjadikan TV sebagai babysitter karena tak mau repot. Biar anaknya anteng, si kecil didudukkan di depan teve. "Bahkan ada yang untuk makan, harus sambil nonton TV. Kalau tidak, anaknya tak mau makan," kata psikolog Hera L. Mikarsa. Jelas, si kecil tak begitu saja tertarik pada TV jika Anda tak pernah memperkenalkan ia pada TV. Dan ia tak akan pernah kecanduan nonton TV jika Anda tak membiarkan ia nonton kapan saja sesuka hatinya tanpa ada batas. Bukan berarti si kecil dilarang sama sekali nongkrong di muka layar kaca.
TV, sarana belajar perilaku sosial
Bagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera, jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. "Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi," jelas Ketua Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.
Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. "Anda tak bisa menjadikan TV sebagai baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis," tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.
Perlu Pendampingan dan Pengawasan
Anda tak dapat menyalahkan TV jika anak lebih suka duduk berjam-jam di depan TV ketimbang melakukan aktivitas bermain lainnya atau ia jadi suka berkelahi gara-gara sering menyaksikan adegan kekerasan di TV. Seberapa besar pengaruh TV dan apakah pengaruhnya baik atau buruk terhadap anak Anda, menurut Elizabeth B. Hurlock, pakar psikologi perkembangan, ditentukan oleh jumlah bimbingan dan pengawasan terhadap anak yang menonton TV. Jika Anda menyediakan waktu untuk menafsirkan apa yang dilihat anak di layar TV, ia akan mengerti dan menafsirkan apa yang dilihatnya dengan benar. Selanjutnya, dengan bimbingan dan pengawasan atas program yang akan ditontonnya, ia dapat mempelajari pola perilaku dan nilai yang sehat yang akan membimbing ke arah sosialisasi yang baik dan tidak ke nilai serta pola perilaku yang tak sehat.
Kenapa ia harus didampingi? Kemampuan berpikir anak masih terbatas. Ia akan mengalami kesulitan mengikuti alur cerita karena keterbatasannya membedakan isi yang penting dan pokok dengan isi insidental yang bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental (Aldo yang gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama (Aldo dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang sedih karena orangtuanya bertengkar).
Ia pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang berbeda yang terjadi pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu menghubungkan satu adegan yang menggambarkan seorang pria bertopeng yang tengah merampok bank dengan adegan berikutnya setengah jam kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan dipenjarakan.
Akhirnya, kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. "Jika Anda menggunakan TV sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya dengan orang lain, jelas Anda lalai. Jika Anda tak memperkenalkan buku kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda bertindak ceroboh. Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik dengan teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda benar-benar bersalah terhadap mereka."
Apa Yang Anak Serap Dari TV? Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran iklan yang menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal yang lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak belajar kekerasan dari TV. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan kekerasan muncul di layar TV, mulai dari pertengkaran mulut sampai perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program tayangan dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa mencegah pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia lihat di TV adalah aktor dan mereka melakukan itu tidak dengan sungguh-sungguh.
Atau, hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan kekerasan dari daftar program TV yang sudah Anda pilih untuk anak. Jangan pula izinkan si kecil menonton program untuk dewasa. Pelajaran lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial tentang wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok lain, termasuk anak-anak. Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan. Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam mengatasi keadaan sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar dari penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit kontak dengan kelompok yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan, Anda pun tak dapat menghindari adegan-adegan yang menggambarkan stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat kata-kata tapi juga harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.
Bagaimana Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan contoh bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak. Atau, bagaimana ayah memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan ayah, akan memberikan gambaran pada anak tentang bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya. Ingatlah, TV akan memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan seberapa baik pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia menafsirkan kekerasan atau stereotipe sosial di TV sebagai pola perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru, maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya sebagai pola perilaku yang tak direstui dalam masyarakat.


Televisi dan Anak-anak
oleh : Dr. Martin Leman
Setelah sekian lama merencanakan, akhirnya tiba juga kesempatan bagi Andi untuk mengajak istri dan anaknya berlibur di sebuah vila di kawasan Puncak. Ia mendapat kesempatan cuti beberapa hari dari kantornya, tepat bersamaan dengan liburan sekolah Marco, anaknya yang berusia 7 tahun. Terbayang oleh reaksi gembira istri dan anaknya, bila ia mengutarakan rencananya itu. Setibanya di rumah, diutarakannya rencana liburan keluarga dengan penuh semangat. Akhirnya mereka pun pergi liburan keluarga. Akan tetapi setibanya di penginapan, Marco mencari-cari televisi dan tidak menemukannya. Ternyata penginapan tersebut memang tidak menyediakan fasilitas televisi. Marco tampak jengkel dan sedih sekali, dan keluhnya, " Kalau tak ada TV…. Apalagi yang bisa saya kerjakan di sini ? Lebih enak di rumah saja….."

Cerita di atas hanyalah salah satu contoh kejadian yang seringkali terjadi di kehidupan modern ini. Anak dapat begitu terikat dengan televisi, bahkan seperti kecanduan. Efek kecanduan TV ini, hanyalah satu dari begitu banyak efek yang diberikan oleh kemajuan teknologi TV. Apa saja pengaruh TV pada anak-anak dan bagaimana kita mengatasinya, mari kita tengok bersama.
Kita semua tahu , betapa besar kemajuan danperubahan yang terjadi semenjak TV ditemukan. Kita dapat menyaksikan liputan berita tentang berbagai peristiwa dari seluruh dunia, kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik dan lain sebagainya, dari dalam dan luar negeri. Jadi, jika memang begitu banyak kemajuan yang diberikan dengan adanya TV, lalu apa masalahnya ? Sebenarnya TV-nya sendiri memang tidak bermasalah. Problemnya adalah berapa lama anak-anak kita menonton TV, dan apa pengaruhnya bagi mereka ?
Belum lama ini, American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal ilmiahnya, "Pediatrics", membuat pernyataan yang menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pernyataan itu antara lain :
"… bahwa 2 tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain.Terlalu banyak menonton TV akan memberi pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan bicara sangatlah penting…."
Lebih lanjut, AAP mengeluarkan pernyataan tidak merekomendasikan anak di bawah 2 tahun untuk menonton TV. Sedangkan untuk anak yang berusia lebih tua, AAP merekomendasikan batasan menonton TV hanya satu atau dua jam saja, dan yang ditonton adalah acara yang edukatif dan tidak menampilkan kekerasan.
Efek Buruk ?
Sebenarnya mengapa TV yang bisa memberi efek buruk ? Pokok permasalahan yang paling besar, sebenarnya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya. Bagi orang yang sudah dewasa, tidak ada masalah, sebab ia tahu apa yang sungguh-sungguh terjadi di dunia atau yang hanya fiksi belaka. Bila orang dewasa melihat film – film aksi atau horor, mereka tahu apa yang mungkin atau apa yang tidak mungkin. Orang dewasa tahu bahwa tokoh Rambo, Frankenstein, Zombie, dan lain-lain adalah karangan saja. Orang dewasa juga tahu bahwa orang tidak dibunuh atau dipukul sungguh-sungguh dalam film. Sebaliknya, seorang anak kecil kebanyakan belum mengenal dan mengetahui apa itu akting, apa itu efek film, atau apa itu tipuan kamera… dan lain sebagainya. Bagi mereka, anak-anak ini, dunia di luar rumah adalah dunia yang seperti apa yang ada di TV, yang mereka lihat setiap kali.
Di mata anak-anak, kekerasan yang ada menjadi hal yang biasa, dan boleh-boleh saja dilakukan apalagi terhadap orang yang bersalah,karena memang itu semua ditunjukkan dalam film-film. Bahkan ada kecenderungan bahwa orang yang melakukan kekerasan terhadap "orang jahat" adalah suatu tindakan yang heroik, tidak peduli dengan prosedur hukum yang seharusnya berlaku. Hal ini pernah dibuktikan di Amerika Serikat, di mana penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa karena terlalu banyak menonton TV, anak dapat jadi beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, dan bagian dari hidup sehari-hari. Dan sebagai akibatnya, mereka menjadi lebih agresif dan memiliki kecenderungan untuk memecahkan tiap persoalan dengan jalan kekerasan terhadap orang lain.
Efek lain dari terlalu banyak menonton TV, adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif. Mereka kurang beraktivitas, tetapi hanya duduk di depan TV, dan melihat apa yang ada di TV. Baik secara fisik maupun mental, anak menjadi pasif, karena memang orang yang menonton TV tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat apa yang ada di TV. Kemampuan berpikir dan kreatifitas anak tidak terasah, karena ia tidak perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya bila ia membaca buku atau mendengar musik. Hal lain yang menyertai kepasifan ini adalah anak cenderung jadi lebih gemuk, bahkan bisa overweight karena mereka biasanya menonton TV sambil makan kudapan (cemilan), terus menerus tanpa terasa.
Lain lagi dengan efek "candu" yang diberikan oleh TV. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun kalau sudah kecanduan menonton film, bisa melupakan segalanya. Orang dewasa saja, yang boleh dikatakan sudah memiliki kekuatan dan kepribadian yang cukup matang, kadang tidak bisa menahan diri untuk tidak menonton sinetron atau telenovela, ……apalagi anak-anak ? Anda tentu sudah merasakan betapa anak-anak Anda begitu kecanduan terhadap film-film dan tokoh kartun seperti Pokemon, Winnie the Pooh, Doraemon, Dragon Ball, dan lain sebagainya…
Kecanduan menonton TV ini akan jadi masalah bila anak sampai tidak mau bermain di luar, dengan lingkungan sekitarnya. Ia menjadi tidak bersosialisasi, dan dunianya tidak bertambah luas. Stimulasi berupa interaksi sesama anak dan orang dewasa di sekitarnya menjadi minimal, dan dapat berakibat anak jadi "kuper" (kurang pergaulan). Waktu belajar pun akan ikut terpotong oleh jam-jam tertentu di mana acara TV sedang diputar.
Kelanjutan dari berkurangnya waktu belajar ini tentunya juga memberi efek pada prestasi di sekolah. Anak yang belajarnya kurang, tentu nilai-nilainya di sekolah akan kurang baik dibanding teman-temannya yang lebih rajin.
Hal lain lagi, adalah masalah pengaruh iklan di TV yang semakin hari semakin bombastis. Ada begitu banyak iklan yang menawarkan berbagai barang, dari mainan anak, makanan, minuman, dan lain sebagainya. Iklan –iklan itu dengan begitu bombastisnya memberikan janji-janji kesenangan dan kebahagiaan keluarga yang akan diperoleh bila membeli produk tersebut. Ini secara tidak sadar, dapat menanamkan pada anak nilai-nilai konsumerisme dan bahwa kebahagiaan / kesuksesan sebuah keluarga diukur dari kemampuan memiliki produk terbaru yang ditawarkan. Sekali lagi kita bandingkan dengan diri kita (orang dewasa) sendiri. Orang dewasa saja banyak terpengaruh oleh iklan-iklan yang ada di TV, ….bagaimana dengan anak yang masih kecil ?
Ada satu hal lagi yang juga sering terjadi, tetapi kali ini bukan efek pada anaknya secara langsung, tapi melalui orang tuanya. Kadang kala orang tua malas atau tidak bisa menghadapi anaknya yang maunya macam-macam, dan mereka menyuruh anaknya itu duduk manis menonton TV. Dengan menjadikan TV sebagai "Electronic babysitter", akhirnya si anak menjadi berkurang waktunya untuk bersama orang tuanya, dan tentunya mengurangi kedekatan antara si anak dan orang tua.
Efek baik juga banyak
Jadi apa memang TV sejelek itu efeknya bagi anak ? Sebenarnya tidak juga, sebab ada banyak juga efek baiknya. Hal ini pun sudah ada penelitian yang mendasarinya. Berbagai efek baik dari TV antara lain misalnya dapat menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. Anak juga dapat belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi. Akan tetapi sayangnya persentasi acara televisi yang bersifat pendidikan masih sangat sedikit.
Dengan melihat berbagai acara di TV (selain film cerita) misalnya acara musik, olahraga, kesenian, berita dll, TV juga dapat menambah wawasan dan minat. Anak akan jadi mengenal berbagai aktifitas yang bisa dilakukannya. Anak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya.
Film pun ada juga yang bagus dan mendidik, yang selain memberi hiburan juga mengajarkan anak berbagai hal yang baik, tentang sikap-sikap yang baik, tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang nilai keagamaan, tentang perilaku sehari-hari yang seharusnya kita lakukan, dan lain sebagainya.
Hanya sayangnya, acara yang baik seperti itu belum banyak. Malah bisa dibilang masih minimal sekali, dan memang masih kurang diperhatikan oleh pihak pengelola TV. Jadi bagaimana ? Apa yang bisa kita perbuat untuk masalah ini ? Berikut ini beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan :
Bagaimana Solusinya ?
Idealnya, efek positif dari kemajuan televisi ini kita perluas, dan efek negatif yang ada ini kita hilangkan, atau minimal kita tekan seminimal mungkin. Untuk itu, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan untuk menghadapi masalah ini, antara lain :
·         Untuk anak yang masih sangat kecil, ia belum bisa membedakan antara siaran TV atau rekaman video yang diputar. Orang tua dapat memilihkan film (video) yang menarik dan mendidik anak, sesuai usianya itu. Akan tetapi ada satu hal yang harus diingat, jangan memutarkan video yang kita sendiri belum lihat, minimal ketahui persis apa isinya.
·         Periksalah jadwal acara TV, sehingga kita bisa mengatur jadwal film / acara apa yang akan ditonton bersama anak. Atau paling tidak, kalau tidak bisa menemaninya menonton, kita tetap tahu acara apa yang ia tonton. Dengan mencari dan melihat resensi atau ulasan mengenai film atau acara itu, kita juga akan tahu kira-kira seperti apa isi acaranya, dan akhirnya kita dapat mempertimbangkan pantas tidak acara itu dilihat anak kita
·         Sering terjadi, setelah acara yang dipilih selesai ditonton, anak tertarik menonton acara berikutnya, dan akhirnya jadwal yang sudah diatur (misalnya untuk belajar) jadi berantakan. Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya selain memperhatikan acara apa yang mau ditonton, perhatikan juga acara berikutnya apa. Dan jika kita tidak menghendaki anak menonton terus, matikanlah segera pesawat TV seusai acara yang dipilih, dan sebelum acara berikut dimulai. Sekali anak tertarik pada acara berikutnya, akan sulit menyuruhnya berhenti menonton.
·         Dengan menemani anak menonton TV, kita dapat mengajaknya membahas apa yang ada di TV, dan membuatnya mengerti bahwa apa yang ada di TV tidak semua sama dengan apa yang ada sebenarnya. Orang tua juga akan semakin erat hubungan komunikasinya dengan anak.
·         Diskusikan dan bantulah anak memperoleh manfaat dari acara TV, dengan menuntunnya mengambil nilai positif dari acara tersebut. Dengan memanfaatkan saat-saat ini , bahkan orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak.
·         Masalah kurangnya waktu belajar karena anak terlalu banyak menonton TV, dapat diatasi dengan cara membiasakan anak tidak menonton TV pada hari-hari sekolah. Jika hal ini terlalu berat, bisa saja dibuat aturan rumah tangga sendiri, tentang jam tertentu kapan anak boleh menonton TV, dan kapan untuk aktifitas yang lain. Menerapkan hal ini memang tidak mudah, karena anak tentu akan tidak setuju. Jadi di sini memang perlu kepandaian dan ketegasan orang tua untuk menerapkan peraturan dalam rumah tangga mengenai waktu menonton TV. Di sini orang tua harus memberi contoh pada anak , dengan tidak banyak menonton TV. Jika anak melihat orang tuanya sering menonton TV, sedangkan ia tidak boleh, tentu ia akan merasa diperlakukan tidak adil.
·         Pada beberapa keluarga, ada kebiasaan untuk menyalakan TV bukan untuk ditonton tapi hanya untuk suara latar di rumah, agar tidak terlalu terasa sepi. Hal ini biasanya pada rumah-rumah yang besar, dengan penghuni yang tidak banyak. Sebaiknya jika anak ada di rumah kebiasaan ini dihentikan atau diganti dengan menyalakan radio. Sebab dengan menyalakan TV, sama dengan mengundang anak menontonnya.
·         Sebaiknya lokasi TV di rumah juga diatur sedemikian rupa, agar tidak berdekatan dengan tempat anak belajar. Anak yang sedang belajar, akan menjadi tidak bisa konsentrasi bila ia mendengar atau melihat ada acara yang menarik di TV. Perhatiannya akan mudah sekali teralih dan ia menjadi ingin menonton TV. Jika TV tidak terdengar atau tidak terlihat dari tempat belajar anak, kalaupun ada yang sedang menonton TV, anak tidak terlalu terganggu.
·         Ajak anak untuk melakukan banyak aktifitas lain, selain hanya menonton TV. Kita dapat mengajak anak bermain atau berolahraga di sekitar rumah. Atau dapat juga memperkenalkan dan mengajarkannya suatu hobi yang baru, sehingga ia dapat bermain atau mengerjakan hobinya sendiri. Akan tetapi orang tua juga harus hati-hati dalam memperkenalkan permainan atau hobi bagi anak. Sebagai contoh, jika kita malah memperkenalkannya dengan video game, tentu efeknya tidak jauh berbeda dengan menonton TV. Keduanya bersifat adiktif bagi anak-anak, menjadikannya pasif, dan menjadikan tidak bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jika anak memiliki banyak aktifitas, secara otomatis tentunya ia akan semakin sedikit menonton TV.
·         Hal terakhir yang bisa kita lakukan, bila semuanya gagal, sebenarnya ada di pesawat TV kita sendiri. Bukankah setiap televisi ada tombol "off" nya ?…. Dan tidak ada pesawat TV yang tidak bisa dimatikan. Bila memang acaraTV mengganggu, matikan saja pesawat televisinya..
Memang harus diingat bahwa setiap keadaan rumah tangga berbeda. Apa yang cocok bagi satu keluarga belum tentu cocok bagi keluarga yang lain. Di sinilah orang tua harus pandai-pandai membuat "aturan main" di dalam keluarga.
Akhirnya, setuju atau tidak dengan uraian di atas adalah sebuah pilihan. Dan adalah sebuah pilihan juga bagi orang tua, untuk peduli dengan aktifitas dan perkembangan anakknya. Di Indonesia, siaran televisi memang tidak seperti di Amerika, Australia, atau negara barat lain. Siaran televisi di Indonesia juga tidak sebanyak di luar negeri, kecuali jika keluarga anda memiliki antena parabola atau berlangganan televisi kabel. Televisi di Indonesia memang belum memberi pengaruh sebesar seperti di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, namun alangkah baiknya jika kita semua sudah mulai memperhatikan masalah ini sebelum terlambat.

Pengaruh TV Terhadap Perkembanan Jiwa Anak

Oleh: Elizabeth L. Wahyudi

Begitu besarnya peran dan daya pikat yang dibuatnya membuat pengaruh televisi sering amat dominan dalam kehidupan anak Anda. Bahkan akibat lebih ekstrim, televisi dianggap anak-anak sebagai panutan, bukan Anda sebagai orang tuanya. Persoalannya kini, sebagai orang tua relakah Anda bila peran Anda diganti televisi?
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa datang, sekaligus untuk mengembalikan peran orang tua sebagai panutan dalam keluarga, Australian's Children Television Action Committee mencoba memberikan pedoman. Pedoman ini dilandasi dengan berbagai penelitian. Pada dasarnya amat diharapkan agar kepada anak-anak dikembangkan sikap aktif dan kritis dalam menonton tayangan televisi, dan jangan ragu untuk menghubungi stasiun televisi apabila ada program yang disiarkan tidak sesuai atau tidak cocok dengan dunia mereka (anak-anak).

Tahukah Anda?

  • Rata-rata, anak-anak menghabiskan waktu antara 3 - 3,5 jam per hari untuk menonton tayangan televisi termasuk satu jam tayangan iklan.
  • Selama setahun, seorang anak menyaksikan 25.000 iklan di televisi dan 90 persen dari iklan itu ditujukan langsung untuk anak-anak dan menyajikan makanan-makanan bergizi rendah.
  • Selama masa sekolah, anak-anak diperkirakan menyaksikan 87.000 tindakan kekerasan di televisi.
  • Film-film kartun juga sering/menyuguhkan kekerasan, beberapa di antaranya menggambarkan 84 adegan kekerasan per jam.
  • Berbagai film kartun yang menggam barkan sejumlah tokoh, sebenarnya didasarkan pada macam-macam mainan, dan tidak kurang dari 30 menit iklan digunakan untuk mempromosikan produk-produk itu.
  • Anak-anak menyaksikan televisi tanpa kontrol dapat dikaitkan dengan meningkatnya kekerasan, perilaku agresif, dan hasil akademik/belajar yang jelek.
  • Anak-anak di bawah usia empat tahun menghadapi kesulitan dalam membedakan antara fantasi dan kenyataan.
  • Banyak anak-anak dirusak 'kepekaannya', dan mudah bertindak kasar. Ini merupakan salah satu akibat menonton televisi.
  • Menyaksikan televisi sebelum sekolah, dapat menurunkan daya tangkap anak-anak terhadap pelajaran di sekolah.
  • Berita-berita yang disuguhkan televisi, seringkali hanya merupakan katalog tindakan kekerasan yang dapat menyebabkan ketakutan dan kebingungan di antara anak-anak.
  • Penyebab utama kematian remaja adalah kecelakaan di jalanan, 50 persen darinya karena pengaruh alkohol. Alkohol sering memberi gambaran glamour dan cara menarik televisi kepada penontonnya.

Akibat lebih jauh

Terlalu sering menyaksikan kekerasan, menimbulkan:
  • Perilaku agresif
  • Anak menjadi kurang kooperatif (tidak memiliki sikap kerja sama - red), kurang sensitif kepada yang lain.
  • Keyakinan kepada anak-anak, segala persoalan hanya dapat "diselesaikan" lewat kekerasan.
  • Keyakinan pada anak-anak, dunia televisi menghadirkan dunia nyata, bukan fantasi. Anak-anak menjadi lebih takut.
  • Sulit mengekspresikan diri. Apabila sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di depan televisi, dapat dipastikan:
  • Anak-anak tidak akan mendengarkan bila Anda berbicara kepadanya, anak-anak tidak mau berbicara dengan Anda dan anak- anak sulit mengekspresikan diri.
  • Mereka sering meniru kekerasan 'pahlawan televisi' dan perilakunya.
  • Mereka akan sering meminta hal-hal yang diiklankan di televisi.
  • Bila bermain, mereka lebih agresif daripada kreatif dan konstruktif.
  • Mereka akan menemui kesulitan dalam berbaur dengan anak-anak lainnya.
  • Mereka mungkin "tidak mampu" mendengarkan cerita, dan mengembangkan kebiasaan membaca.
  • Anak-anak sulit tidur karena berkaitan dengan ketakutan terhadap kekerasan yang ditampilkan di televisi.
  • Mereka mengharapkan pemecahan segera bila menemui berbagai masalah.

Segi positif

Meskipun televisi mengandung sejumlah unsur negatif, ia juga mempunyai segi-segi positifnya. Televisi dapat menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak Anda. Yang penting, anak-anak punya waktu cukup untuk bermain dengan teman-teman dan mainannya, punya waktu cukup untuk membaca cerita dan istirahat/tidur, punya waktu untuk berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Anak-anak umumnya senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun dengan Anda.

Untuk itu kepada orang tua diharapkan untuk:

  1. Membaca dan memilih acara-acara televisi yang dihadirkan berbagai media massa. Bila ada program yang Anda nilai kurang cocok, jangan nyalakan pesawat televisi.
  2. Beranikan diri Anda hanya membeli video games yang mengandung unsur pendidikan dan mempromosikan nilai-nilai sosial.
  3. Ajarilah anak Anda untuk mematikan televisi bila program yang dipilih sudah berakhir.
  4. Ajaklah anak-anak membuat aturan yang masuk akal seperti:
    1. a) batasan waktu untuk menyaksikan televisi
    2. b) tidak boleh menonton televisi sambil makan
    3. c) tidak menonton televisi sebelum sekolah
  5. Coba memilih, melihat, mendiskusikan bersama anak Anda mengenai program yang sudah dipilih.
  6. Dalam menyaksikan televisi, usahakan Anda terlibat di dalamnya, baik dalam menyanyi maupun aktivitas lain.
  7. Hubungkan program-program televisi yang disaksikan dengan pengalaman-pengalaman anak Anda.
  8. Jelaskan kepada anak-anak mengenai maksud iklan-iklan yang ditayangkan dan cara-cara yang digunakan untuk menjual produk.
  9. Di sekolah, anak Anda sering mendapat 'tekanan' dari teman-temannya untuk menyaksikan program tertentu. Mungkin Anda dapat menyaksikan program itu bersama anak Anda, dan coba jelaskan mengapa program tersebut tidak pantas untuk ditonton. Dukunglah anak Anda untuk berani menentang tekanan-tekanan itu.
  10. Berbicara bersama sebagai satu keluarga mengenai program-program televisi, termasuk iklan yang dapat memberi sejumlah keuntungan untuk mendiskusikan nilai-nilai yang Anda kehendaki.
Acara televisi adalah teman main anak Anda. Jadi, tanyai diri Anda sendiri, "Apakah aku membiarkan anakku keluyuran dengan orang ini dan acara ini?"
Bahan Bacaan:
  1. Chen, Milton, "ANAK-ANAK DAN TELEVISI", PT Gramedia, Jakarta.
  2. "BILA TV MENJADI NAHKODA RUMAH TANGGA ANDA", Kompas, 4 April 1995.
Elizabeth L. Wahyudi, Guru Bimbingan Konseling SLTPK VII BPK Penabur KPS Jakarta.

Lindungi Anak Anda dari TV!


Ada hasil penelitian yang cukup mengejutkan tentang pengaruh TV terhadap anak. Seperti dilansir oleh Situs Pemerhati Televisi Indonesia di www.geocities.com/kritikacaratv, sebuah hasil penelitian terkini di AS menyebutkan bahwa terlalu banyak menonton TV bisa menghambat pertumbuhan otak anak.
Hasil penelitian itu bahkan menyebutkan bahwa anak umur nol sampai dua tahun sebaiknya tidak menonton TV sama sekali. Alasannya, ''karena televisi, meskipun edutainment sekalipun, hanya memberikan rangsangan yang bersifat satu arah saja sehingga anak tidak bisa tercipta reaksi timbal balik,'' kata psikolog anak, Dra Mayke Tedjasaputra, seperti dikutip situs tersebut.
Dengan kata lain, terjadi semacam proses pembodohan pada diri anak-anak jika mereka terlalu banyak menonton televisi. Di AS kini bahkan ada sebutan 'kotak idiot' bagi TV karena pengaruh buruknya tersebut. Karena itu, anjuran 'Lindungi Anak Anda dari TV' cukup tepat untuk segera disampaikan kepada para orang tua Indonesia, agar anak-anak mereka tidak menjadi bodoh hanya gara-gara kebanyakan menonton TV. Apalagi, jika tayangan-tayangan yang ditonton tidak edukatif, bukan hanya pembodohan yang terjadi tapi juga perusakan kepribadian.
Anjuran itu perlu segera disebarluaskan, karena rata-rata orang tua Indonesia cenderung membiarkan anak-anak mereka duduk berjam-jam di depan TV. Beberapa hasil penelitian menyebutkan, anak-anak Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 4-5 jam per hari untuk menonton TV. Bahkan, pada hari libur bisa sampai 10 jam dalam sehari. Alasan para orang tua umumnya pragmatis saja: anak-anak bisa diam dan tidak pergi ke mana-mana jika sudah asyik di depan TV, sementara sang orang tua bisa menyuntuki kesibukannya sendiri tanpa terganggu oleh anak-anak.
Dari satu sisi, alasan itu memang cukup masuk akal. Tetapi, sebenarnya mengandung bahaya besar yang bisa mengancam masa depan anak, karena terjadinya proses pembodohan dan perusakan kepribadian tadi. Sebab, dengan membiarkan anak banyak menonton TV berarti menyerahkan pertumbuhan mental dan kecerdasan mereka kepada 'kotak idiot' itu.
Begitu besarnya pengaruh TV terhadap anak-anak, sampai-sampai pendiri organisasi Action for Children Television, Peggy Chairen, memperingatkan bahwa tidak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka.
Besarnya pengaruh itu, kata psikolog UI Prof Dr Fawzia Aswin Hadis, seperti dikutip situs di atas, karena anak-anak memang berada pada fase meniru. Anak-anak adalah imitator ulung, dan karena itu akan cenderung meniru adegan yang ditonton di TV. Barangkali, masalahnya tidak mengkhawatirkan jika yang ditiru adalah adegan dan perilaku yang positif.
Tapi, kenyataannya, justru bukan perilaku positif yang menarik bagi anak-anak dan menebar di layar TV, namun malah yang negatif. Ketika meneliti film-film kartun Jepang Sailor Moon, Dragon Ball dan Magic Knight Ray Earth, misalnya, Sri Andayani mendapati lebih banyak adegan anti sosial ketimbang adegan pro sosial (58,4% : 41,6%). Temuan diperkuat oleh studi YKAI yang mendapati adegan anti sosial lebih dominan (63,51 %). Adegan-adegan anti sosial pula yang banyak didapati pada film-film kartun anak-anak yang sedang populer saat ini, seperti Sponge Bob Square Pans dan Crayon Sincan.
Kalangan orang tua di negara-negara maju seperti AS kini sudah mulai menyadari negatifnya pengaruh TV terhadap anak-anak, dan karena itu mereka sudah mulai hati-hati. Sebuah survai yang dilakukan oleh Christian Science Monitor terhadap 1209 orang tua tentang seberapa kuat kekerasan TV mempengaruhi anak, menghasilkan 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% menjawab mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi dan 11% tidak mempengaruhi.
Kuatnya pengaruh acara TV terhadap anak, menurut Fawzia Aswin, juga ditentukan oleh besarnya waktu untuk menonton TV. Penelitian oleh Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) menemukan anak-anak di Semarang menonton TV selama 4 jam per hari. Sedangkan Pudji Lestari (1996) mencatat anak Bogor menonton 3,13 hingga 4,65 jam per hari. Padahal, menurut Murphy dan Karen Tucker (produser acara anak-anak), sebaiknya anak menonton TV kurang dari dua jam per hari.
Tayangan TV yang hampir selalu menampilkan efek sinar, gerak dan suara secara bersamaan, menurut Mayke Tedjasaputra, juga berefek negatif bagi anak-anak. Sebab, seperti dikutip situs di atas, efek-efek itu tidak bisa selalu dilihat oleh anak dalam dunia nyata sehingga mempersulit penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Tampilan adegan yang tidak disajikan secara utuh dalam tayangan TV juga menyebabkan anak tidak bisa memperoleh gambaran yang utuh tentang suatu kegiatan atau benda. Sehingga, menurut Mayke, anak tidak memahami suatu hal secara menyeluruh.
Akibat lainnya, menurut Konsultan Tumbuh Kembang Anak dari Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr Hartono Goenardi SpA, pertumbuhan sel-sel syaraf otak pada anak tidak bisa optimal. Demikian juga dengan tingkat pembentukan hubungan antar sel syarafnya (synaps). Padahal, dua sampai tiga tahun pertama merupakan periode emas pertumbuhan otak anak yang seharusnya tidak boleh disia-siakan.
Untuk memacu pertumbuhan otaknya, anak-anak harus secara aktif mendapatkan stimulasi atau rangsangan dengan memberikan nutrisi yang cukup dan suasana yang menyenangkan, di antaranya dengan permainan-permainan yang sehat. Jadi, bukan dengan terus-menerus membiarkan mereka nonton televisi. Nah!

Mencegah Perilaku Buruk Anak

Pernahkah anda merasa jengkel pada anak yang membantah perintah orangtua? Biasanya anak-anak pada usia balita (2-5 tahun) sedang nakal-nakalnya, karena pada usia itu anak-anak senang memikirkan keinginannya sendiri dan tidak memperdulikan omongan orangtuanya. Misalnya, seorang anak berusia 7 tahun setiap kali ibunya menyuruh belajar, jawabannya selalu, "Tidak, nanti aja, Ma!" atau "Nggak ah, lagi malas Ma !". Sikap membantah pada anak sebenarnya wajar-wajar saja. Anak-anak ingin menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan orang tuanya. Sifatnya ini sebenarnya menunjukkan perkembangan daya berpikir anak. Jadi selama orangtua bisa memberikan alasan yang jelas atas setiap larangan atau perintah, anak juga akan mengerti.
Banyak hal yang dapat dilakukan orangtua untuk menghadapi sikap dan perilaku anak yang buruk, diantaranya:
1. Berikan perintah yang jelas.
Jangan sekedar mengatakan 'tidak boleh!" atau 'jangan !', tanpa memberikan si anak alasan mengapa Anda menyuruhnya demikian. Misalnya, ketika melarang anak makan di depan pintu, katakan, "Jangan makan di depan pintu, nanti orang tidak bisa lewat!" atau ketika anak melompat-lompat di atas tempat tidur, berikan penjelasan jika ia sering melompat di atas tempat tidur nanti akan ambruk atau tempat tidur akan rusak dan seterusnya. Dengan begitu, anak akan mengerti mengapa anda melarangnya.
2. Buat batasan.
Seorang anak bisa bersikap keras kepala jika dilarang atau diperintah. Hadapilah sikapnya dengan sikap tegas anda, tapi jangan mengomel atau merayunya. Katakan apa yang anda inginkan, tegaskan bahwa si anak harus melakukan apa yang Anda katakan.
3. Jika memungkinkan, berikan pilihan yang jelas.
Misalnya, "Kamu mandi sekarang! Kalau mandinya nanti, airnya sudah keburu habis!", atau ketika seorang anak yang kepergok merokok, katakan, "Kalau kamu merokok nanti paru-parumu jadi rusak", dan sebagainya. Dengan begitu anak akan mengerti apa akibatnya kalau ia tak segera menuruti perintah Anda.
4. Peringatkan lebih awal.
Ketika seorang anak anda sudah terlalu lama bermain dan sudah waktunya untuk tidur, cobalah untuk mengingatkannya lima atau sepuluh menit lebih awal. Dengan begitu, anak anda tahu bahwa sebentar lagi ia harus berhenti bermain. Sehingga ketika saatnya benar-benar tiba, ia tak akan membantah Anda karena ia sudah mempersiapkan dirinya untuk berhenti bermain.
Satu hal yang perlu diingat oleh orangtua adalah, bahwa anak tetaplah anak dengan pikiran polosnya. Bagi anak, dunianya penuh dengan kegembiraan dan keceriaan. Sehingga kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi sikapnya. Cobalah untuk menunjukkan rasa kasih sayang dan dukungan Anda kepadanya.

BAHAYA TONTONAN KEKERASAN PADA ANAK

Ada dua umpan yang dilempar oleh produser agar film produksinya laku ditonton. Seksualitas dan kekerasan. Orang tua cenderung mencekal yang pertama, tapi jarang atau tidak sama sekali untuk yang kedua. Padahal "bahayanya" tak kalah seriusnya.
Ny. Lita Marfiandi terkejut melihat anaknya yang berumur delapan tahun melemparkan gelas dan piring. Apalagi tidak ada masalah dalam diri anaknya. Bahkan hal itu dilakukannya sambil tertawa senang. Ketika ditanya, anaknya dengan enteng menjawab, "Kayak Joshua di televisi." Yang dimaksud adalah ulah Joshua dalam sinetron Anak Ajaib.
Kasus anak Ny. Lita itu memunculkan kembali silang pendapat, benarkah tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak? Dalam lingkup yang lebih kecil, apakah tayangan kekerasan di televisi (juga game kekerasan) bisa memicu kebrutalan anak di kemudian hari? Masih ingat dengan kasus Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999? Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage.
Sungguh sulit menjawab pertanyaan itu. Melihat jawaban anak Ny. Lita, jelas tayangan di televisi mempengaruhi perilakunya. "Tapi, itu 'kan hanya meniru?" kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI sambil menambahkan, fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Lain persoalannya jika lemparannya ditujukan ke orang.
Ihwal kasus Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV.
Pendapat Fawzia mendukung pernyataan itu, "Main game itu intens. Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat."
Apalagi analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.

 

Apa yang menarik anak?

Yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin "kecanduan" ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan.
Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.
Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.

Jadi agresor dan tak pedulian

Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain," ujar Singer.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."
Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?
Orang tua contoh model anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.

Dua jam sudah cukup

Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga. (Yds. Agus Surono/Shinta Teviningrum)

Ketika Anak Menonton Televisi

Pikiran Orangtua:
Malu, mau marah dan jantung rasanya mau copot ketika tiba-tiba mendengar Edu berteriak "bajingan kau!!!". Entah belajar darimana, tapi rasanya kok sebagai orangtua tidak pernah mengatakan hal-hal kasar seperti itu, pembantu di rumah juga tidak ada yang bicara seperti itu, Wah jangan-jangan dari anak tetangga sebelah rumah. Aaaaaah ternyata Edu mendengarnya di televisi. Di televisi? Bukankah program tayangan Teletubbies kesayangan Edu tidak ada bahasa kasar seperti itu? Ooooooh ternyata Edu juga suka menonton telenovela bersama nenek. Aduh.... kan tidak mungkin melarang nenek menonton telenovela, jadi yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya supaya Edu tidak ikutan menonton telenovela bersama nenek dan hanya menonton acara anak-anak saja.
 
Pikiran Anak:
Aduh, Mama/Papa marah nih, gara-gara Edu tadi bilang "bajingan kau!!!". Padahal kan Edu lihat ada om jagoan ganteng di televisi bilang begitu, Edu cuman meniru saja kok. Memangnya "bajingan kau" itu apa sih? Kata mama, itu kata-kata kasar, memangnya kata-kata kasar itu apa sih? Edu kan ingin seperti om jagoan ganteng di televisi itu, banyak yang suka, banyak yang sayang, nenek dan mbak saja tiap hari harus lihat om itu, mama juga kalau di rumah lihat om itu. Tapi, Edu jadi bingung sama Mama dan Papa, kalau Edu hafal cerita-cerita film yang ada di televisi, Mama dan Papa bangga. Mama dan Papa sering bilang sama om dan tante Edu: "wah Edu pintar loh, dia bisa hafal semua cerita-cerita film televisi".  Kalau Edu hafal iklan-iklan di televisi Mama dan Papa juga bangga, katanya Edu pintar, terus kalau Edu lagi menirukan iklan televisi katanya Edu lucu dan menggemaskan. Tapi kalau Edu nonton televisi terus-terusan, Mama dan Papa marah, katanya Edu malas. Padahal kalau nggak nonton kan nggak bisa hafal film dan iklan yang di televisi. Aduuuuuuh Edu jadi bingung.
 
Sebagai orangtua, pernahkah anda mengalami situasi seperti di atas? Kadang-kadang marah karena anak menirukan adegan di televisi, tetapi seringkali juga memuji dan bangga kalau anak hafal dengan cerita-cerita atau iklan-iklan yang ada di televisi. Kalau dilihat sepintas sepertinya ada standard ganda di sini, walaupun sebenarnya tidak. Sebagai orangtua kita sudah tahu dengan pasti mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa menetapkan mana program yang boleh ditonton dan ditiru dan mana yang tidak. Orangtua juga tahu kapan menonton televisi, kapan waktu belajar. Tetapi apakah anak sudah tahu dengan pasti mengenai hal baik dan buruk tersebut, apakah anak sudah mengetahui program televisi mana saja yang diperbolehkan untuk ditonton dan apakah anak sudah menyadari benar-benar mengenai pembagian waktu? Anak mungkin bingung dan tidak mengerti, ditambah lagi kalau standard yang ditetapkan oleh orangtua berbeda dengan yang ditetapkan oleh pengasuh (termasuk dalam pengasuh adalah suster, kakek-nenek dan om-tante yang ikut serta dalam pengasuhan sehari-hari). Nah,  pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana orangtua menyikapi anak dalam menonton televisi?
Darimana Anak Meniru Adegan Kekerasan ?
Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak (minus), dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Namun demikian harus diakui bahwa kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan. Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak sekali pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera. Sehingga walaupun semua orang mungkin sudah tahu akan dampak  negatif yang bisa ditimbulkannya, keberadaan televisi tetap saja dipertahankan. 
Kecemasan orangtua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak penelitian menunjukkan televisi memang memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Misalnya penelitian yang dilakukan Liebert dan Baron, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral (tidak mengandung unsur kekerasan).
Dalam benak banyak orang dewasa, film-film kartun dan film-film robot dianggap merupakan film anak-anak dan cocok dikonsumsi oleh mereka karena format penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan anak-anak. Benarkah demikian? Jawabnya tidak semua film-film tersebut cocok dikonsumsi anak-anak. Contohnya Bart Simpson dan Crayon Sinchan yang cukup populer di Indonesia, sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak, karena bercerita dalam bahasa yang kasar dan tingkah laku urakan. Tetapi  diawal kemunculannya, orangtua membiarkan kedua film tersebut ditonton oleh anak-anak karena format penyajian dan jam tayangnya yang pas dengan waktu anak menonton televisi. Setelah berjalan beberapa lama barulah orangtua menyadari kalau tontonan tersebut tidak cocok dan ramai-ramai mengajukan protes kepada stasiun televisi.  Akhirnya kemudian film tersebut diberi keterangan bukan untuk konsumsi anak-anak. 
Kalau mau lebih teliti, sebenarnya banyak film "anak-anak" yang justru menampilkan adegan kekerasan dan kata-kata yang kasar (meski tidak sekasar film dewasa sih), walaupun banyak juga terdapat adegan-adegan kebaikan (karena biasanya film-film tersebut bercerita tentang pertentangan antara kebaikan dan kejahatan). Contoh film-film yang memiliki kedua unsur tersebut adalah film Popeye the Sailor Man, Batman & Robin, Power Puff Girls, Power Ranger dan Saras 008. Film-film ini sangat populer di dalam dunia anak-anak kita sehingga seringkali menjadi model yang ditiru oleh anak-anak. Meskipun mengandung adegan kekerasan, namun film-film ini sepertinya tidak menimbulkan kecemasan bagi orangtua, karena para orangtua sampai sekarang  merasa aman meninggalkan anak-anak ketika menonton film-film ini. Sementara itu kalau ada film dewasa, baik yang menampilkan adegan kekerasan maupun tidak, anak-anak seringkali tidak diperbolehkan menonton. Hal ini sudah menunjukkan standard ganda yang diberikan orangtua kepada anak. Adegan kekerasan dalam film dewasa tidak boleh ditonton, tetapi adegan kekerasan dalam film anak-anak boleh ditonton, jadi kekerasan boleh atau tidak?  Lalu apakah tidak ada kemungkinan bahwa anak justru dapat juga meniru adegan kekerasan atau kata-kata kasar yang ada dalam film-film tersebut karena mereka melihat bahwa orangtua membiarkan mereka menonton film tersebut dengan bebas? 
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?
Mengingat bahwa sangatlah sulit (bahkan tidak mungkin) bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, maka ada baiknya orangtua melakukan beberapa hal sebagai berikut:  
Dampingi anak ketika menonton dan beri penjelasan 
Sebenarnya daripada orangtua tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.
Buat jadwal kegiatan anak 
Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan-kegiatannya. Atur waktu yang jelas, kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain. Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif (cukup dengan duduk), karena itu anak tetap perlu waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak-anak lain) supaya  mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. Mereka tetap butuh waktu untuk berlari-larian, mengobrol dengan teman-teman dan bermain dengan mainan. Pengaturan waktu bisa mengkondisikan anak untuk selalu menonton televisi dengan didampingi orangtua.
Seleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak
Kalaupun tidak sempat mendampingi anak, orangtua sebaiknya menyeleksi program televisi mana yang benar-benar cocok untuk anak. Sebelum anak diijinkan untuk menonton program televisi tertentu, orangtua sudah mengetahui program tersebut cocok atau tidak untuk anak, jadi orangtua sudah pernah terlebih dulu menonton program tersebut dan melakukan evaluasi. Jangan sampai terjadi lagi kasus Crayon Sinchan. Untuk melakukan hal ini tentu saja dibutuhkan kesabaran dan pengorbanan dari orangtua, untuk sementara orangtua harus mengorbankan kesenangannya sendiri menonton televisi demi mencari-cari dan menyeleksi program televisi yang cocok untuk anak tercinta.
Bangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga
Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerja sama dari seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut. Berikan pengertian kepada anggota keluarga bahwa bagaimanapun juga mereka kadang-kadang  harus mengorbankan kesenangan mereka demi kebaikan sang anak. Jangan sampai standard yang sudah diterapkan orangtua terhadap anak, ternyata tidak diterapkan oleh anggota keluarga lainnya  ketika orangtua tidak ada ditempat.
Konsisten dalam bertindak
Orangtua dan pengasuh perlu untuk selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosannya dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Oke.....semoga bermanfaat (Abi Jundu)


0 komentar: