BILA PASANGAN KERAP MENGANIAYA ANAK
“Aku sering, lo, lihat si Michael dipukuli ibunya. Pernah di depan ayahnya juga. Tapi aku heran, kok, suaminya diam saja melihat istrinya bersikap seperti itu kepada anaknya,” cerita seorang ibu kepada tetangganya.
Menanggapi kasus pemukulan seperti itu, dr. H. Indra Sugiarno, Sp.A., Wakil Ketua Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta mengatakan, “Kasus penganiayaan anak disebut juga child abuse. Definisi sederhananya, tindakan salah atau sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, baik secara fisik, emosi, maupun seksual.” Batasan usia anak menurut konvensi PBB adalah sejak lahir sampai 18 tahun. Sedangkan batasan usia dewasa adalah 18 tahun ke atas. Semestinya, orang dewasa seperti ayah, ibu, orang tua tiri, guru, dan lainnya melindungi anak-anak.
Penganiayaan fisik oleh anggota keluarga yang dialami anak, menurut Indra, sayangnya sering tidak dilaporkan. PKT RSUPN-CM saja menurutnya mungkin hanya menerima sekitar 4-5 persen dari laporan yang ada. Berbeda dengan kasus kekerasan seksual, yaitu sekitar 45 persen per tahunnya. Mengapa demikian? Karena kasus penganiayaan secara fisik ini jarang muncul ke permukaan. “Penyebabnya bisa jadi tindakan kekerasannya itu hanya terjadi minimal atau memang disembunyikan orang tua.” Sebaliknya ia sangat yakin, kasus yang tak dilaporkan jauh lebih banyak.
Lebih lanjut Indra menjelaskan, ukuran untuk menentukan apakah tindakan orang tua terhadap anaknya termasuk kejahatan atau tidak memang masih harus dipertanyakan lagi. Sebagian besar kasus kekerasan fisik ini dilakukan orang tua spontan dan pada satu momen. “Kalau menurut teori, tindakan disebut kejahatan kalau sudah merupakan perilaku atau ada repetitif action (tindakan yang berulang) dari si pelaku.”
STRES KELUARGA
Menurut Indra, banyak hal yang bisa jadi faktor penyebab orang tua menganiaya anak. Namun, pada dasarnya, menurut Indra, inti masalah yang mendorong munculnya penganiayaan anak adalah stres dalam keluarga (family stress). Stres ini bisa juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, seperti banyaknya aturan harus begini-begitu dan lainnya. “Hal yang sifatnya umum ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap stres dalam keluarga.”
Stres juga bisa terjadi karena adanya pengaruh langsung. Bisa berasal dari si anak (child produced stress), dari orang tua sendiri (parental produced stress), maupun dari situasi tertentu (situational produced stress). Masalah pada diri anak, seperti anak kurus, anak dengan cacat fisik, atau anak dengan penyakit kronis bisa menjadi stres bagi orang tua, karena menjadi omongan tetangga, mertua, dan lingkungan lain.
Juga, pada fase tertentu seperti fase otonomi, dimana ego seorang anak sedang tinggi-tingginya bisa menimbulkan stres pada orang tua. Ciri-cirinya antara lain anak tak mau diatur orang tua dan bila diberitahu selalu melawan atau berbuat sebaliknya yang disebut juga fase negativistik. Kedua fase ini sangat mungkin membuat stres pada orang tua.
Dari orang tua sendiri, stres sering terjadi bila salah satu atau keduanya menjunjung disiplin tinggi dan ingin anak-anaknya sama seperti mereka. Penyebab lainnya, orang tua punya kelainan emosi sehingga cenderung bersikap agresif; impulsif atau emosinya meledak-ledak; punya kelainan kepribadian, semisal paranoid atau ketakutan yang membuatnya selalu bersikap curiga; dan orang tua punya riwayat dipukuli oleh orang tuanya dulu atau abused become abuser. Perlakuan terhadap anaknya adalah meniru perilaku orang tuanya dulu dalam mendidik anak.
Faktor terakhir, yaitu faktor situasional, biasanya muncul apabila terjadi guncangan terhadap posisi keuangan atau posisi sosial keluarga. Misalnya karena pencari nafkah dalam keluarga diberhentikan dari tempatnya bekerja, atau keluarga pindah ke lingkungan baru.
Adanya stres dalam keluarga ditambah peristiwa pencetus membuat orang tua jadi mata gelap terhadap anak, sehingga terjadilah child abuse secara fisik ataupun emosi. Pencetus yang paling sering muncul adalah tangisan anak yang tanpa henti Itulah mengapa, child abuse paling sering terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun.
Selain menangis, pencetus lainnya adalah BAK dan BAB spontan. Orang tua yang tidak paham mengenai perkembangan perilaku anak biasanya juga mudah dibuat kesal oleh peristiwa ini dan melampiaskannya dengan memukul anak. Bila anak menangis, pukulan orang tuanya akan semakin keras. Perlakuan tersebut tentu saja tidak akan menghentikan tangisannya tetapi malah akan membuatnya semakin menjadi. “Lebih baik, saat anak menangis tanpa henti, diamkan saja atau sentuhlah dengan kasih sayang,” saran Indra.
ANAK HARUS DIBELA
Tentu saja, jika salah satu orang tua melakukan “penganiayaan” terhadap anak, maka pasangannya harus memihak pada anak. Bagaimanapun, anak berada pada posisi yang lemah. Tindakan suami/istri yang sewenang-wenang terhadap anak merupakan tanggung jawab pasangannya. Ingatkan selalu bahwa ia tidak seharusnya menganggap anak sebagai seorang dewasa dalam bentuk kecil.
Pahamilah, cara berpikir dan kematangan anak itu berkembang secara bertahap, tidak seperti orang dewasa. Anak juga dalam kesehariannya hanya ingin bermain dan mendapatkan reward. “Kalau permasalahan ini bisa dibicarakan oleh kedua pasangan, biasanya masalah akan bisa selesai.”
Namun bila pasangan diam saja melihat pasangannya menganiaya anak, menurut Indra, mungkin pasangan tersebut menunjukkan gejala refleksi, yaitu tidak mampu berbuat sesuatu karena dalam relasi mereka terdapat unsur dominasi dari salah satu pasangan. Misalnya, istri lebih dominan karena ada kelainan emosi atau kepribadian, sementara suaminya merasa kurang percaya diri sehingga merasa tidak mampu menanganinya dan cenderung permisif. Sebaliknya, dominasi ini juga bisa dimiliki oleh suami dan gejala refleksi muncul pada istri.
Indra menambahkan, “Bisa juga keduanya memang sepakat bahwa memukul merupakan salah satu jalan untuk mendidik anak.” Nah, kalau ini yang terjadi, maka penganiayaan disebabkan faktor ignorance atau ketidaktahuan dalam mendidik dan membimbing anak.
INTERVENSI PIHAK KETIGA
Jika orang tua tidak mampu membela anak, paling tidak, harus ada pihak ketigabiasanya dari pihak keluarga dekatyang berani bertindak. Sebelum keadaan membaik, anak harus dipisahkan dari orang tua yang kerap menganiaya. Lebih baik, titipkan si anak pada kerabat yang menaruh kepedulian dan sayang kepadanya. Bila sikap orang tua tidak kunjung berubah, bisa saja hak perwaliannya dicabut agar anak terhindar dari penganiayaan untuk seterusnya.
Sementara anak dititipkan, orang tua sebaiknya ditangani secara medis, psikologis, dan sosial dengan bantuan psikolog atau psikiater. Indra juga menyarankan, apabila kita menjadi saksi dari sebuah peristiwa sebaiknya laporkan dulu ke ketua RT/RW sebelum ke polisi. “Yang jelas, masyarakat harus dilatih untuk berani melaporkan kasus demikian. Apalagi dalam UU perlindungan anak disebutkan, apabila orang tahu ada penganiayaan anak, tetapi membiarkan saja, maka bisa dikenakan hukuman. Untuk pelakunya sendiri pun akan dikenai pasal tindak kriminal.”
DAMPAK BAGI ANAK
Indra memaparkan, pada beberapa kasus, gejala kesewenangan orang tua
terhadap anak akan tampak secara fisik, berupa tanda-tanda seperti patah
pada tulang-tulang panjang atau tulang tengkorak, serta badan jadi
lebam-lebam. “Jadi, terdapat kumpulan gejala yang disebut battered child syndrome. Anak seolah adonan yang dipukul habis-habisan. Perlakuan dengan gejala seperti itu bisa menyebabkan kematian.”Aniaya ringan biasanya tidak meninggalkan tanda-tanda fisik yang jelas dan juga tak sampai menyebabkan kematian. Namun demikian, menurutnya, 95 persen anak yang mengalami penganiayaan biasanya akan mengalami gangguan kepribadian, seperti insomnia, agresif, pemarah, depresif, dan memiliki trauma. Hal ini bisa saja terbawa sampai dewasa, jika tidak segera ditangani.
0 komentar: