Cara Bijak Memarahi Anak
eramuslim - Sebagaimana
senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita
meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal
yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari
apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi -bukan marah-merupakan tindakan.
Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.
Persoalan kemudian, kita acapkali
tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang
menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan,
tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang,
tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak,
utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan
membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak
mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya".
Sekali lagi, betapa pun sulit dan
masih sering gagal, kita perlu
berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.
berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.
Selebihnya, ada beberapa catatan yang
bisa kita perhatikan:
Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman
Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan Ancaman
Anak-anak belajar dari kita. Mereka
suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan
cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga
belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".
Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh
luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang
sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara
bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang
diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak
tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.
Perbincangan kita kali ini bukanlah
tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana
ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman
tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang
membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak
dan menentang.
Salah satu sebabnya, anak merasa
orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka.
Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak
manakala kita asyik melontarkan ancaman.
Lalu apa yang perlu kita lakukan?
Pertama, kita kembali pada prinsip
qubhunal 'iqab bila bayan. Adalah buruk menyiksa tanpa memberikan penjelasan.
Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak
untuk berbicara tentang aturan-aturan.
Kedua, kita bisa membuat komitmen
bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar
tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak
menginginkan sesuatu, hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik
dan bersabar bila belum bisa memenuhinya.
Bersama dengan komitmen ini kita bisa
membicarakan dengan anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk
di saat ada tamu. Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang
akrab. Bukan ancaman.
Bila anak melakukan hal-hal negatif
yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan
lagi-lagi tidak dengan nada mengancam. Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali
mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk
konsisten.
Astaghfirullahal 'adzim. "Ibu
Sudah Bilang Berkali-kali."
Perilaku yang menjengkelkan memang
lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk
segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong
kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat
mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk, akan segera menggerutu ke sana kemari, meski
kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung
akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak
juga demikian. Orangtua mudah ingat perilaku negatif anak, sementara anak
mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya.
Salah satu kebiasaan umum orangtua
yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah
ungkapan, "Ibu sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau
mendengarkan."
Ungkapan ini memang efektif untuk
membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan
karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra
diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri (self esteem)
anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif,
sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki.
Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada
anak, kita akan semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya
pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan
susah dinasehati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan
memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau
yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita
perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir
setiap komentar kita masih buruk.
Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya
Saja
Suatu saat, kira-kira jam setengah dua
dini hari seorang anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan
mengajak adiknya yang masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur.
Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat
mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak
saya merupakan cerminan dari dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang
terjadi jika saya mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan
menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan
sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar
membenci adiknya.
Apa yang saya ceritakan hanyalah
sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif",
padahal ia tidak bermaksud demikian.
Suatu ketika, pulang dari play-group
anak saya berkata, "Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya,
ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar
itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."
Kita sangat mudah keliru menangkap
maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita
perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi
anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinya sehingga justru
mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan
yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah
menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskan perilakunya.
Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya,
"Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri
-dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya
diri anak. Pada gilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh. Na'udzubillahi
min dzalik.
Sebagian kita merasa tidak merasa mencela
anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak
mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."
Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita
adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang
salah.
Jangan Katakan "Jangan"
Barangkali tidak ada kata yang lebih
sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita
menggunakan kata "jangan" begitu melihat anak melakukan tindakan yang
kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata "jangan", bahkan di
saat kita mengharap anak melakukan yang lain.
Padahal kata "jangan" tidak
membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit
memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena
merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel
(kepala batu, orang Bugis bilang).
Lalu, apakah kita tidak boleh memberi
larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada
larangan sama sekali.
Begitu pun keluarga. Tetapi bercermin
pada Nabi, jangan katakan
"jangan" pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa
yang seharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya,
sebagaimana ketika seorang Badui di zaman Nabi kedapatan kencing di masjid.
Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main
pasirnya di teras saja, ya?" Singkat, padat, jelas dan positif. Bukan,
"Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul kamu nanti."
Kapan sebaiknya kita sampaikan
larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam
suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak
lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukan
menganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.
Khusus mengenai bagaimana melarang
anak, insya-Allah akan kita perbincangkan pada kesempatan lain. Kali ini, kita
perlu untuk beristighfar atas keruhnya hati dan sikap isti'jal (tergesa-gesa).
Semoga Allah memberi ketenangan, kelembutan dan kejernihan niat. Semoga Allah
lindungi iman kita dan anak-anak kita, sehingga tidaklah kita mati kecuali
dalam keadaan ridha kepada Allah dan Allah ridha kepada kita. Allahumma amin.
Diambil
dari milistsd-islam@yahoogroups.com
0 komentar: